BANNER ENIE WIDHIASTUTI

Pages

28 Desember 2013

Catatan Harian Enie Widhiastuti (13)

Sebentar lagi kita akan menutup lembar terakhir tahun 2013, lalu membuka lembar-lembar tahun 2014. Tentu banyak cerita dan peristiwa yang tercatat sepanjang tahun 2013. Masing-masing orang memiliki versi yang beragam untuk mengingat hari-harinya. Saya melewati tahun 2013 dengan rasa syukur kepada Tuhan yang tak pernah berhenti memberi terang cahayaNYA, memberi anugrah yang mengalir dan menjadi sumber kekuatan selama ini. Banyak hal yang mendatangkan kebahagiaan, tapi tak jarang juga bermuara pada kesedihan. Apapun itu, saya menerimanya sebagai jalan yang sudah digariskan. Meninggalnya Bagong adalah sisi kecil kepedihan yang harus saya terima. Sekalipun Bagong hanyalah seekor anjing, tapi dikehidupan saya; ia adalah sahabat yang tak pernah terpisahkan dari perjalanan hidup saya. Bagong semasa hidup seolah menjadi penjaga yang setia dan loyal. Ia mengerti tugasnya. Saya merasa diamankan dan memperoleh kenyamanan serta ketenangan saat berada dirumah. Kematian Bagong yang belasan tahun setia menemani, tak urung membuat saya tak henti-hentinya menitikkan airmata. Betapa sempurnanya ia menjadi sahabat, lalu pergi dengan kesan yang mendiami hati saya. Seperti juga manusia, pada akhirnya dihadapkan pada janji-janji kematian yang pasti. Keinginan dan harapan bisa dirancang dan direncanakan, tapi kehendak Tuhan menjadi pintu akhir dalam perwujudannya. Pada catatan inilah, saya sebagai pribadi menghaturkan banyak terima kasih pada semua kerabat, sahabat, kawan seperjuangan yang selama ini sudah memberi suport dalam aktifitas saya. Ijinkan saya juga menyampaikan maaf jika selama ini terdapat hal yang dirasa kurang berkenan, baik sengaja atau tidak. Harapan saya, dan kita semua, tahun 2014 adalah tahun yang lebih menjadikan kita sebagai pribadi-pribadi yang selalu beroleh karunia Tuhan, jalan kemudahan dan terwujudnya cita-cita.

 Selamat Tahun Baru 2014

18 Desember 2013

Catatan Harian Enie Widhiastuti (12)

Tadi malam (Rabu, 18/12/2013), saya melaksanakan tugas sebagai anggota DPRD Kota Bekasi untuk menggelar RESES, tepatnya di kelurahan Kaliabang Tengah, RW 024. Dibawah menara tegangan tinggi, warga sekitar menghelat acara secara sederhana dan penuh keramahtamahan. Saya terkesan dan bangga pada warga masyarakat yang turut menghadiri acara RESES ini.

Beberapa tokoh masyarakat, pemuka agama, hadir untuk menyampaikan ragam keluhan, keinginan dan harapan. Itulah aspirasi yang selalu muncul. Semua berkisar tentang infrastruktur jalan, saluran air dan beberapa hal menyangkut pelayanan kesehatan, jaminan pendidikan untuk anak-anak mereka. Satu hal lagi yang menyentuh pada sisi-sisi keimanan saya adalah soal peribadatan.

Warga Bekasi Utara tentu punya catatan khusus tentang kerukunan antar umat beragama. Salah seorang warga, Ibu. Sihombing namanya dengan terbata-bata menyampaikan keluhkesahnya selama hidup di wilayah yang kerap di sebut Mangseng ini. "Kami merindukan kedamaian dalam menjalankan keteguhan iman kami, kami perlu kenyamanan dalam menjalankan peribadatan. Mengapa ini tak pernah bisa diselesaikan secara baik-baik dan penuh cinta kasih antar sesama warga masyarakat sekaligus sesama warga bangsa?", tanyanya.

Saya terharu, betapapun upaya kita untuk terus-menerus menciptakan masyarakat yang saling hormat-menghormati satu sama lain dalam keberagaman tak boleh berhenti apalagi hilang. Banyak pihak yang harus menjadi penentu kepentingan dalam menindaklanjuti urusan ini. Saya dalam kapasitas sebagai anggota legislatif juga tak berhenti menyuarakan hal ini. Bahwa hasilnya belum dirasa memuaskan semua pihak, bukan alasan untuk kita berhenti berjuang.

Menjelang Natal, tentu menjadi momen-momen penuh kekhususan bagi saudara-saudara umat Kristiani. Saya bisa merasakan kegelisahan warga kristiani yang tak memiliki kenyamanan dalam perayaan Natal. Saya berharap, doa terus dikumandangkan> Yakini, kekuatan doa adalah kekuatan yang tak tertandingi oleh siapa saja.

16 Desember 2013

Wasiat Mutiara Bung Karno

“Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 10  pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia” .
(Bung Karno)

“Tidak seorang pun yang menghitung-hitung: berapa untung yang kudapat nanti dari Republik ini, jikalau aku berjuang dan berkorban untuk mempertahankannya”.
(Pidato HUT Proklamasi 1956 Bung Karno)

“Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat. Dan diatas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”
(Soekarno)

“Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun”.
(Bung Karno)

“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.”
(Pidato Hari Pahlawan 10 Nop.1961)

“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
(Bung Karno)

“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.”
(Pidato HUT Proklamasi 1963 Bung Karno)
“……….Bangunlah suatu dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan persaudaraan……”
(Bung Karno)

“Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup di masa pancaroba, tetaplah bersemangat elang rajawali “.
(Pidato HUT Proklamasi, 1949 Soekarno)

“Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segi tiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai ! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat.”
(Pidato HUT Proklamasi, 1950 Bung Karno)

“Firman Tuhan inilah gitaku, Firman Tuhan inilah harus menjadi Gitamu : “Innallahu la yu ghoiyiru ma bikaumin, hatta yu ghoiyiru ma biamfusihim”. ” Tuhan tidak merobah nasibnya sesuatu bangsa sebelum bangsa itu merobah nasibnya”
(Pidato HUT Proklamasi, 1964 Bung Karno)

“Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan datang.”
(Pidato HUT Proklamasi 1966, Soekarno)

“Apakah Kelemahan kita: Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri kita sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang mempercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong Royong”
(Pidato HUT Proklamasi, 1966 Bung Karno)

“Aku Lebih suka lukisan Samodra yang bergelombangnya memukul, mengebu-gebu, dari pada lukisan sawah yang adem ayem tentrem, “Kadyo siniram wayu sewindu lawase”
(Pidato HUT Proklamasi 1964 Bung Karno)

“Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya; jika patah satu dari pada dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.”
( Sarinah, hlm 17/18 Bung Karno)

Satunya Kata dengan Perbuatan



13 Desember 2013

Catatan Harian Enie Widhiastuti (11)

Desember seperti menjadi titik kesibukan yang luar biasa. Menyelesaikan aktifitas dan tanggungjawab sebagai anggota DPRD Kota Bekasi sekaligus memposisikan diri selaku calon anggota legislatif di Daerah Pemilihan Bekasi Utara perlu energi ekstra. Dua peran dan laku aktifitas itu saya jalani saja dengan penuh keyakinan dan terbungkus dengan keikhlasan yang saya punya. Bersyukur, ada kekuatan yang selalu saya dapatkan dari Tuhan untuk menjalani rutinitas ini tanpa saya mengeluhkannya.

Luar biasa cara Tuhan menghadirkan kekuatan yang saya rasakan. DIA kirim dan tempatkan orang-orang yang selama ini banyak membantu. Mereka adalah kaki-kaki saya yang lain -selain kedua kaki yang saya miliki-. Entah dengan cara apa saya memaknai sumbangsih tenaga, pikiran dan doa yang tercurahkan kepada saya selama ini. Sebagai manusia, saya merasakan betapa hebatnya kekuatan yang tak bercermin pada latarbelakang perbedaan. Sahabat-sahabat saya seiman, sahabat-sahabat seperjuangan dan seideologi telah menjadi -jembatan emas- untuk saya melangkah. Baik suka maupun duka, mereka -memerdekakan- saya untuk tetap berpendirian dalam lisan dan tindakan yang tak saling menciderai. Duh, saya merasakan karuniaMU tak berbatas dan tak pula bertepi. Setiap saat saya berdoa, agar kerukunan yang kami jalin adalah kerukunan yang bertumpu pada cintakasihMU. Kami menjadi saling menguatkan, saling mengingatkan dan tak segan untuk saling mengkritisi.

09 Desember 2013

IJ,KASIMO; Politisi Berpendirian Teguh



Salah satu pendiri Partai Katolik Indonesia ini dikenal berpegang teguh pada kebenaran, menolak oportunisme, serta menjunjung tinggi etika berpolitik yang bermartabat. Dia pernah beberapa kali menjabat sebagai menteri dan turut berjasa memperjuangkan kemerdekaan dan pluralisme di Indonesia. Atas jasa-jasanya, pemerintah Indonesia menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2011.

Kasimo Hendrowahyono lahir di Yogyakarta pada tahun 1900. Ia adalah putra kedua dari sebelas bersaudara pasangan Dalikem dan Ronosentika, seorang prajurit Keraton 

Yogyakarta sekaligus tokoh yang memperjuangkan hak-hak anak jajahan. Sebagai putra prajurit, sejak kecil Kasimo dididik sesuai dengan tradisi keraton. Oleh karena itu, ia amat memahami cara hidup keraton yang semuanya berpusat pada Sultan.

Ketika kakaknya dipersiapkan untuk menggantikan posisi sang ayah, sebagai anak laki-laki tertua nomor dua, secara otomatis Kasimo harus mulai bertanggung jawab pada keluarganya. Ia harus bekerja keras membantu ibunya mengurus rumah tangga dan membesarkan sembilan adiknya. Setelah lulus dari Bumi Putra Gading, Kasimo masuk sekolah keguruan di Muntilan yang didirikan oleh Romo van Lith. Kasimo yang ketika itu tinggal di asrama pada akhirnya mulai tertarik untuk mendalami agama Katolik. Tepat pada hari raya Paskah, April 1913, Kasimo yang saat itu masih berusia 13 tahun dibaptis secara Katolik dan mendapat nama baptis Ignatius Joseph. Setelah menamatkan pendidikannya di Muntilan, Kasimo hijrah ke Bogor guna meneruskan pendidikannya di Landbouwschool.

Dalam menjalankan perannya sebagai politisi, Kasimo selalu memiliki sikap yang tegas ketika mempertahankan prinsipnya. Ia bahkan tak segan mengatakan tidak untuk sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya. Pendirian teguh ia tunjukkan saat menolak gagasan Nasakom yang ditawarkan Presiden Soekarno. Begitu lulus, Kasimo mulai bekerja sebagai guru pertanian di Tegal dan Surakarta. Kemudian ia terjun ke dunia politik dengan ikut mendirikan dan menjadi ketua pertama partai politik Katholiek Djawi. Tahun 1925, partai tersebut berubah nama menjadi Perkoempoelan Politiek Katholiek di Djawa. Lima tahun kemudian, berganti nama lagi menjadi Partai Politik Katolik Indonesia (PPKI). Partai tersebut berdiri sendiri selain Indisch Katholieke Partij tahun 1917 yang sebagian besar anggotanya orang Belanda. Saat pemerintah Jepang berkuasa, PPKI sempat dilarang keberadaannya.

Antara tahun 1931-1942, ia diangkat menjadi anggota Volksraad. Pada 1936, ia ikut menandatangani petisi Soetardjo yang menginginkan kemerdekaan Hindia-Belanda. Di masa awal kemerdekaan, PPKI dihidupkan kembali atas gagasan Kasimo kemudian berubah nama menjadi Partai Katolik Republik Indonesia yang dipimpinnya hingga tahun 1961.
Peran aktifnya di dunia politik pada akhirnya membawa Kasimo masuk dalam jajaran pemerintahan. Tahun 1945 ia diangkat menjadi anggota KNIP. Kemudian pada 1950, ia duduk sebagai anggota DPR selama sepuluh tahun. Kasimo juga beberapa kali mendapat kepercayaan untuk menjabat sebagai Menteri, diawali pada tahun 1947 saat ia diangkat menjadi Menteri Muda Kemakmuran Kabinet Amir Sjarifuddin, setahun kemudian di bawah Pemerintahan Darurat (Dr. Soekiman) ia merangkap sebagai 
Menteri Persediaan Makanan Rakyat dan Menteri Gerilyawan di Jawa Tengah Kabinet Hatta I dan Hatta II. Selama menjadi menteri yang membawahi bidang-bidang tersebut, ia mengusahakan swasembada pangan ketika hubungan dengan dunia luar terputus.

Kasimo kembali menjabat sebagai menteri pada Kabinet Soesanto Tirtoprodjo atau kabinet peralihan. Jabatan sebagai Menteri Perdagangan juga pernah diamanatkan padanya ketika bergabung dalam Kabinet Burhanuddin Harahap. Pada era Republik Indonesia Serikat (RIS), Kasimo sempat menjabat sebagai wakil Republik Indonesia. Setelah RIS dilebur, jabatannya berganti menjadi anggota DPR. Kala duduk sebagai anggota dewan, Kasimo turut memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara. Perjuangan lain yang ditunjukkan Kasimo adalah saat ia ikut merebut Irian Barat.

Pada masa Agresi Militer II (Politionele Actie), ia bergerilya di Jawa Tengah dan Jawa Timur bersama menteri lainnya yang tidak ditangkap Belanda. Kemudian ketika berada di Yogyakarta, Kasimo mulai memprakarsai kerjasama seluruh partai Katolik Indonesia untuk bersatu menjadi Partai Katolik. Upaya itu dimaksudkan Kasimo untuk mengubah citra golongan Katolik sebagai unsur yang melekat dengan kolonialisme menjadi bagian integral dari bangsa Indonesia.

Demikian pula di tahun 1957, saat Presiden Soekarno menggagas 'kabinet kaki empat' yang terdiri dari empat partai pemenang pemilu 1955 yakni PNI, Masyumi, NU dan PKI, Kasimo langsung menyatakan penolakannya. Maklum saja, kala itu Partai Katolik Indonesia dan Masyumi pimpinan Natsir memang cukup lantang menolak bekerja sama dengan PKI di kabinet. Alasannya, menerima PKI di kabinet berbahaya bagi demokrasi dan Negara RI. Soekarno dan sejumlah anggota Partai Katolik kemudian memarahi Kasimo dalam kongres partainya di Surakarta. Akan tetapi sikap itu hanya dibalas Kasimo dengan senyuman seraya tetap berpegang teguh pada kebenaran yang diyakininya dan menolak oportunisme.

Guna melakukan regenerasi setelah 32 tahun menjadi orang nomor satu di Partai Katolik Indonesia, Kasimo menyerahkan jabatannya sebagai Ketua Umum kepada Frans Seda pada tahun 1960. Masih di tahun yang sama, ia menjabat sebagai anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung), yang kemudian dibubarkan PKI. Saat pemerintah 
Orde Baru mulai berkuasa pada 1967, Kasimo bergabung dalam Tim Pemberantasan Korupsi. Setahun kemudian, ia kembali duduk di DPA hingga 1973.

Pada 1980, sebagai bentuk apresiasi atas perjuangannya, Paus Yohanes Paulus II menganugerahkan Kasimo penghargaan Bintang Ordo Gregorius Agung serta diangkat menjadi Kesatria Komandator Golongan Sipil dari Ordo Gregorius Agung. Tokoh politik religius ini wafat pada 1 Agustus 1986 di RS Saint Corolus, Jakarta, jenazahnya dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Tahun 2011, seperempat abad setelah kepergiannya, pemerintah Indonesia memberikan gelar  pahlawan Nasional pada Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono. Penganugerahan gelar tersebut diberikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara kepada ahli waris Kasimo yang diwakili oleh putranya, IM Wartono. Bapak adalah orang yang sederhana, jujur, dan disiplin. Dia mengajari agar kami tidak boleh sombong. Wah, susah sekali. Saya tidak bisa menirunya," ujar Wartono yang duduk di kursi roda seperti dikutip dari situs Kompas.com.

Selain keluarga, penganugerahan gelar tersebut juga disambut sukacita oleh pihak PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) sebagai salah satu tim yang getol mendukung IJ Kasimo agar mendapat gelar  pahlawan Nasional. Menurut Ketua Forum Alumni PMKRI, Hermawi Fransiskus Taslim, anugerah pahlawan memang layak disematkan kepada IJ Kasimo atas dedikasinya dalam memperjuangkan kepentingan bangsa. Selain mempunyai andil dalam merebut kemerdekaan, Kasimo juga dipandang sebagai sosok yang memiliki sikap yang patut diteladani lantaran dalam karir berpolitiknya ia selalu menjunjung tinggi etika dan martabat.

Fransiskus juga menjelaskan, meski Kasimo tokoh minoritas, namun dalam berpolitik di benaknya tidak ada minoritas dalam konsep kewarganegaraan. Kasimo memandang istilah minoritas dan mayoritas itu adalah konsep statistik bukan kewarganegaraan. Sebagai bentuk syukur atas gelar pahlawan nasional yang disematkan pada Kasimo, PMKRI pada akhir November 2011 mengadakan misa syukur di Katedral, Jakarta Pusat. Acara tersebut dihadiri para uskup dan perwakilan negara-negara sahabat serta ribuan umat Katolik.

Mengenal Albertus Soegijapranata


Albertus Soegijapranata, S.J., lahir pada 25 November 1896, di Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia. Nama kecilnya adalah Soegija. Soegija lahir di sebuah keluarga Kejawen yang merupakan abdi dalem keraton Kasunanan Surakarta. Belajar di Kolese Xaverius yang didirikan oleh Pastor Franciscus Georgius Josephus van Lith, S.J. Ketika bersekolah, Soegija dibaptis di Muntilan oleh Pastor Meltens, S.J., dengan mengambil nama permandian dari St. Albertus Magnus. Dari didikan yang didapat di sinilah kemudian ia berhasrat untuk menjadi imam, kemudian ia dikirim ke Belanda belajar di Gymnasium, yang diasuh oleh Ordo Salib Suci/Ordo Sanctae Crucis (O.S.C.) di Uden, Belanda Utara, di sana ia belajar bahasa Latin dan Yunani. Kemudian beliau masuk Novisiat Serikat Yesus/Jesuits (S.J.) di Mariendaal, Grave. Di sini ia bertemu dengan Pastor Willekens, S.J., yang kelak menjadi Vikaris Apostolik Batavia. Pada 22 September 1922 Soegija mengucapkan kaul pertamanya. Pada 1923-1926 Beliau belajar Filsafat di Kolese Berchman, Oudenbosch. Pada 1926-1928 Kembali ke Muntilan mengajar di Kolese Xaverius Muntilan. Pada Agustus 1928 Soegija kembali ke Belanda belajar Teologi di Maastrich. Pada tanggal 15 Agustus 1931 menerima Sakramen Imamat, ditahbiskan oleh Mgr. Schrijnen, Uskup Roermond di kota Maastrich. Namanya ditambah Pranata sehingga menjadi Soegijapranata. Tahun 1933 Soegijapranata kembali ke Indonesia dan mulai bekerja di Paroki Kidulloji, Yogyakarta, selama satu tahun sebagai pastor pembantu. Tahun 1934 ia dipindahkan ke Paroki Bintaran sampai tahun 1940. Pada 1 Agustus 1940, Mgr. Willekens, S.J., (Vikaris Apostolik Batavia), menerima telegram dari Roma yang berbunyi: "from propaganda fide Semarang erected Vicaris stop, Albert Soegijapranata, SJ appointed Vicar Apostolic titular Bishop danaba stop you may concecrete without bulls" ditanda tangani oleh Cardinal Montini (Paus Pius XII). Soegijapranata menjawab: "Thanks to his holiness begs benediction". Diceritakan pada tanggal 1 Agustus 1940, Pastor Soegija termenung menatap sebuah telegram tentang pengangkatannya sebagai Uskup. Baginya menjadi Uskup itu adalah sebuah salib. Pada 6 November 1940, di gereja Randusari, ia ditahbiskan sebagai Uskup Tituler Danaba, dan merupakan Uskup pribumi Indonesia pertama sebagai Vikaris Apostolik Semarang oleh Mgr. Willekens, S.J. (Vikaris Apostolik Batavia), Mgr. A.J.E. Albers, O.Carm (Vikaris Apostolik Malang) dan Mgr. H.M. Mekkelholt, S.C.J. (Vikaris Apostolik Palembang). Perjuangan Bapa Uskup baru saja dimulai. Pada tahun 1942, Jepang masuk ke Hindia Belanda. Salib berat Uskup Soegijapun mulai dipikul. Semua yang berbau Belanda disita oleh Pemerintah Jepang. Para imam, biarawan-biarawati, dan tenaga-tenaga Gereja ditangkap dan dimasukkan ke interniran. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh para imam dan biarawan-biarawati disita, tidak terkecuali seminari menengah. Anak-anak Jawa dipulangkan, para seminaris dititipkan di pastoran-pastoran untuk melanjutkan pendidikan calon imam dalam diaspora (sembunyi-sembunyi). Tinggallah Bapa Uskup bersama beberapa imam Jawa yang merawat iman umat di wilayah Vikariat Semarang. Dalam kondisi yang sulit ini Bapa Uskup tetap berusaha menunjukkan sikap heroiknya terutama ketika gereja Randusari ingin disita oleh tentara Jepang untuk dijadikan Markas tentara, dengan tegas Bapa Uskup menjawab, "Ini adalah tempat yang suci. Saya tidak akan memberi izin. Penggal dahulu kepala saya, maka Tuan baru boleh memakainya.” Pimpinan tentara itu masih mendesak Bapa Uskup untuk segera menyerahkan aset gereja Randusari. Dan beliau masih bisa menjawab tegas,”Gedung Bioskop itu masih cukup luas. Dan tempatnya pasti juga strategis.” Inilah cara Bapa Uskup berdiplomasi. Pada kesempatan lain, gereja Atmodirono juga ingin disita oleh tentara Jepang. Segera Bapa Uskup meminta orang-orang untuk mengisi ruangan-ruangan yang kosong. Karena masih tetap tampak ada ruang yang kosong, segera ia meminta supaya pintu-pintu itu diberi nama Pastor-Pastor supaya semua ruangan terlihat ada penghuninya. Dengan cara-cara seperti inilah Bapa Uskup berhasil untuk menyelamatkan Harta Gereja. Pada tanggal 15-20 Oktober (Pertempuran 5 Hari) Kota Semarang sudah diblokade oleh tentara Jepang karena kemarahan mereka atas penyerangan pemuda-pemuda Semarang sebelum hari-hari mencekam itu. Tidak terkecuali Pastoran Gedangan tempat Bapa Uskup tinggal menjadi incaran tentara-tentara Jepang. Kedatangan tentara sekutu dimanfaatkan oleh Bapa Uskup untuk kembali mengekspresikan keunggulannya dalam berdiplomasi. Bapa Uskup mendesak pimpinan tentara sekutu untuk mengadakan perundingan dengan pimpinan tentara Jepang. Bapa Uskup berhasil mempertemukan dua pimpinan itu di Pastoran Gedangan. Dari Perundingan itu Bapa Uskup juga mendapatkan info dari Pimpinan Tentara Jepang bahwa malam tanggal 20 Oktober itu tentara Jepang akan menjebak pemuda-pemuda Semarang dan menghabisi mereka di daerah Karang Tempel. Bapa Uskup tidak hanya berhasil menyelamatkan pemuda-pemuda pejuang itu, tetapi juga berhasil membuka blokade tentara Jepang atas kota Semarang. Pertempuran itu pun berhasil digagalkan oleh keunggulan diplomasi Bapa Uskup pada kedua pimpinan tentara Jepang dan Inggris. Sejak tahun 1946 pusat pemerintahan Indonesia berpindah ke Yogyakarta. Soekarno dan Hatta memimpin negeri yang baru lahir ini di Yogyakarta, sementara Sutan Syahrir masih menjabat sebagai Perdana Menteri di Jakarta. Didorong oleh keprihatinan terhadap nasib bangsanya, Mgr. Soegijapranata juga memindahkan Vikariatnya ke Yogyakarta dan tinggal di Bintaran. Saat Agresi Belanda I (21 Juli 1947) itu Bapa Uskup ada di Gereja Purbayan Solo dalam rangka menjalani retret pribadi. Suara sirine dimana-mana, jam malam mulai diberlakukan. Terdengar bahwa Belanda sudah menduduki banyak kota, korban-korban berjatuhan. Suasana yang makin genting ini membuat kementrian penerangan mendesak Bapa Uskup untuk membuat pidato diplomasi yang disiarkan melalui Radio RRI Surakarta. Tanggal 1 Agustus 1947, pidato itu dibacakan di RRI Surakarta pada pukul 20.00 malam. Isi pidato itu berujung pada desakan untuk gencatan senjata demi kehormatan kedua belah pihak. Pada kesempatan pidato itu Bapa Uskup juga membacakannya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Belanda. Pidato itu juga ditujukan untuk umat Katolik Belanda yang seharusnya berterima kasih dan ikut mendukung gerakan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Pada tanggal 19 Desember 1948 kembali Belanda menyerang ibukota Indonesia, yaitu Yogyakarta. Inilah Agresi militer Belanda yang kedua. Kota Yogyakarta diblokade. Soekarno dan Hatta ditangkap. Dalam kondisi sulit ini, Bapa Uskup ikut merawat keluarga Soekarno, bahkan menyembunyikan mereka. Dan dalam rangka perjuangan bangsa, Bapa Uskup juga selalu berkontak di Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Pada masa blokade ini Bapa Uskup juga tetap didatangi imam-imam dan umatnya. Suatu hari Pastor Sandiwan Brata berkunjung dan berpesan agar umat Katolik ikut prihatin dengan situasi bangsa. Maka beliau berpesan supaya Natal tahun ini dirayakan dengan sederhana. Suatu hari beliau juga dikunjungi pemuda-pemuda Katolik. Mereka bertanya, sebagai umat Katolik apakah mereka juga harus ikut berjuang. Pertanyaan itu membuat Bapa Uskup marah. Dengan nada marah Bapa Uskup meminta pemuda-pemuda itu untuk pergi berjuang dan kembali kalau sudah mati. Sementara Bapa Uskup ini sendiri dengan kepiawaiannya berdiplomasi, beliau berhasil menembus blokade Belanda dengan tulisan-tulisannya di majalah Commonwealth untuk pembaca di Amerika Serikat. Tulisan-tulisan ini membuka mata dunia tentang situasi yang terjadi di Indonesia, tentang apa yang dilakukan bangsa Belanda terhadap rakyat Indonesia. Belanda berhasil memblokade Pusat pemerintahan, tetapi gagasan-gagasan dari Bapa Uskup tidak bisa diblokade. Pikiran-pikirannya menembus batas diplomasi yang ikut mewarnai perjuangan bangsa Indonesia untuk sungguh-sungguh merdeka. Belanda pun akhirnya mengakui kedaulatan RI melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) yang ditandatangani tanggal 27 Desember 1949. Setelah itu, Bapa Uskup kembali pindah ke Semarang dan mulailah berkarya sebagai Uskup pada jaman kemerdekaan. Salah satu yang masih menjadi perhatiannya adalah serangan ideologi komunis yang mulai berkembang di Indonesia pada jaman itu dan sudah ia waspadai sejak muda. Pada masa itu Bapa Uskup dengan dibantu Pastor Djikstra mulai bekerja di bidang sosial dan ekonomi. Saat itu mulai dibentuklah serikat-serikat buruh, petani, dan nelayan yang diberi nama Panca Sila. Maka mulailah dikenal Buruh Panca Sila, Petani Panca Sila, dan Nelayan Panca Sila. Pada tahun 1949, Bapa Uskup diangkat sebagai Vikaris Apostolik Militer pertama Indonesia. Seiring berjalannya waktu, hubungan Indonesia dengan Tahta Suci semakin baik, dan akhirnya pada tanggal 3 Januari 1961, seluruh Vikariat Apostolik di Indonesia dinaikan tingkatannya menjadi Keuskupan. Semarang pada saat itu langsung menjadi Keuskupan Metropolitan/Keuskupan Agung. Secara otomatis gelar Bapa Uskup secara resmi menjadi Uskup Agung Semarang. Pada 11 Oktober 1962, Paus B. Yohanes XXIII mengadakan Konsili Vatican II. Bapa Uskup hadir pada sesi pertama (11 Oktober 1962-8 Desember 1962) Dalam kondisi sakit, Bapa Uskup harus banyak melakukan perjalanan ke luar negeri dalam rangka konsili. Dalam perjalanan Konsili dan berobat, beliau singgah di Belanda. Beliau juga punya keinginan mengunjungi keluarga-keluarga missionaris Belanda yang bekerja di Indonesia. Beliau ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka. Kelelahan ini tidak dirasakan lagi, sampai pada malam hari pukul 22.20 tanggal 22 Juli 1963 beliau meninggal dunia di negeri Belanda. Berita meninggalnya Bapa Uskup langsung tersebar dan sampai juga ke telinga Soekarno dan atas perintah Presiden Soekarno, ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giritunggal, Semarang, dalam upacara kemiliteran. Sebagai Uskup Militer yang pertama, ia diberi pangkat Jenderal (Anumerta) dan dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional.


Politik Harus Rasional dan Bermartabat

Enie Widhiastuti di salah satu kegiatan bersama konstituenya (dok.pribadi)
Salah satu umat paroki Santa Clara yang terjun langsung ke politik praktis adalah Enie Widhiastuti. Kini ia duduk sebagai anggota DPRD Kota Bekasi, dan kembali maju dalam pemilu depan. Lantas bagaimana pandangannya terhadap politik yang ia jalankan selama ini? Berikut hasil wawancara dengan repoter Suara CLARA:

MENGAPA ANDA TERJUN KE POLITIK? APA HARAPAN ANDA DENGAN DUNIA POLITIK?
Dunia politik dalam pemahaman saya adalah ruang pengabdian dan pelayanan bagi sesama dalam banyak hal. Sebagai sebuah pilihan sikap mengabdi dan melayani, saya berkeyakinan politikm adalah sarana yang mampu menjembatani beragam problem sekaligus menggali dan menemukan solusinya. Sebagai insan yang menggeluti dunia politik, tentu saja harapan terbesar saya adalah terciptanya tatanan kehidupan bermasyarakat, berbaqngsa dan bernegara, bahkan beragama di negeri ini semakin baik dan menuju kebaikan bagi semua golongan warga negaranya.

BAGAIMANAKAH KENYATAANNYA?
Bahwa perjuangan politik kerap tak sebangun dengan harapan dan cita-cita, tentu harus kita sadari sebagai sebuah proses yang terus menerus secara konsisten saya ikuti. Masyarakat wajib diberdayakan sikap-sikap politiknya yang pada akhirnya bermuara pada pilihan-pilihan politik yang rasional dan bermartabat. Dengan demikian, saya tak semata melihat sebuah hasil perjuangan politik pada hari ini saja, tetapi selalu menerimanya sebagai proses yang berkelanjutan.

APA SIKAP PRIBADI ANDA DALAM BERPOLITIK, TERUTAMA SEBAGAI SEORANG KATOLIK?
Sesuai dengan semangat yang saya tanamkan pada dii dan benak saya, berpolitik dengan prinsip "Satunya Kata dengan Perbuatan" serta mengutamakan kepentingan umum/golongan diatas kepentingan pribadi (solus populi suprema lex) yang saya dapatkan dari ajaran pendiri Partai Katolik Alm. J. Kasimo.

APA KATA ANDA SOLA "POLITIK HATI NURANI" ROMO MANGUN?
Dalam pandangan saya, prinsip politik "Hati Nurani" Romo Mangun adalah nilai-nilai dasar berpolitik yang tak sertamerta diorientasikan pada kekuasaan semata. Hingga tak ditemukan praktek dan prilaku politik yang menghalalkan segala cara yang melahirkan dehumanisasi. Hati nurani adalah kekuatan yang melekat pada aspek kemanusiaan, sehingga harus terintegrasi sebagi kekuatan yang mampu mewujudkan cita-cita kesejahteraan untuk semua.

BAGAIMANA UPAYA ANDA UNTUK PATUH PADA BISIKAN HATI NURANI?
Etika dan kesadaran iman Katolik yang membuat saya mematuhi dan memegang teguh hati nurani.

APA YANG MEMBUAT ANDA MASIH MAU MAJU DALAM PEMILU NANTI SEBAGAI SEORANG CALEG?
Amanat konstituen dan partai yang saya naungi sebagai faktor eksternal, kehendak untuk terus mengabdikan dan melayani sesama ke arah kebaikan bersama sebagai faktor internal. Selain itu, tentu masih banyak hal yang perlu saya tuntaskan dan maksimalkan sebagai tindaklanjut dari 5 tahun keberadaan saya sebagai anggota legislatif di Kota Bekasi.

*Dimuat di Buletin Suara Clara Edisi Oktober-November 2013

Megawati: Pertemuan dengan Jokowi-Ahok Tak Bicara Pilpres

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati dan Joko Widodo
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri angkat bicara terkait pertemuanya dengan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), pada Minggu kemarin, 8 Desember 2013.

Megawati mengatakan tidak ada yang aneh dengan pertemuan ketiganya yang dilakukan di kediaman Mega di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat. Sebagai ketua umum partai, Mega mengaku sering didatangi kepala daerah.

"Kalau kemarin kenapa ya, kalau saya ngundang Pak Jokowi, Pak Ahok, sepertinya media merasa aneh. Padahal kalau media mengintip rumah saya, sebagai ketua umum partai sebetulnya banyak yang datang seperti Gubernur Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan sebagainya ataupun bupati," ujar Mega di JW Luwansa Hotel, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin 9 Desember 2013.

Mega menjelaskan tak ada pembahasan serius dalam pertemuan tersebut, terlebih soal capres 2014 dari PDIP. Ketiganya hanya makan bersama. "Kami makan-makan saja tidak ada urusan genting, seperti yang media bilang ada pembicaraan kesiapan Pilpres," tuturnya.

Mega lalu menuturkan bahwa partainya akan fokus terlebih dulu pada Pemilu Legislatif, untuk Pilpres akan dibahas setelah Pemilu Legislatif.

"Sudah berulang kali saya katakan keputusan Rakernas di Ancol, kami akan konsentrasi dulu ke Pemilu legislatif dan untuk nantinya pilpres itu ya tunggu saja, sabar kenapa tinggal 3 sampai 4 bulan lagi," kata Mega.

Mega sangat berharap partainya bisa memperoleh lebih dari 20 persen suara seperti target yang telah diputuskan dalam Rakernas Ancol beberapa waktu lalu.

"Harapan kami bisa meraup presentase lebih 20 persen. Kalau partai-partai lain telah mendeklarasikan calon-calonnya ya monggo saja, namanya juga demokrasi, sekarang ya monggo, tapi PDIP tunggu sampai pemilu legislatif," tuturnya. 

Sumber: vivanews.com

Catatan Harian Enie Widhiastuti (10)

Beberapa hari yang lalu, saya menggelar kegiatan Senam Bersama dan Pemeriksaan Kesehatan Gratis untuk masyarakat sekitar RW 029 Perumahan Taman Wisma Asri Kelurahan Teluk Pucung Kecamatan Bekasi Utara. Sebagai paket kerja-kerja politik bersama Romy Bareno selaku Calon Legislatif untuk DPR-RI mewakili Dapil Kota Bekasi dan Kota Depok. Kegiatan berlangsung semarak dan mendapat animo dari masyarakat, terlebih ibu-ibu yang notabene ibu rumah tangga biasa. Rutinitasnya adalah memasak, mengurus rumah, meladeni anak-anaknya. Menjadi luar biasa karena tak sedikit dari mereka adalah perempuan-perempuan tangguh ketika harus juga mengkreasi kebutuhan ekonominya dengan aneka usaha rumahan.

08 Desember 2013

Senam Bersama dan Pemeriksaan Kesehatan Gratis di Lingkungan RW 029 Kel. Teluk Pucung Bekasi Utara







02 Desember 2013

Catatan Harian Enie Widhiastuti (9)

"Cuaca demi cuaca melalui kami, dan kebenaran akan semakin dipojokkan. Sampai akhirnya nanti, badai meletus dan menyisakan kejujuran yang bersinar. Entah menghangatkan, atau menghanguskan."
--Dee, Filosofi Kopi; Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade--

Dibenak saya, hanya ingin mengabdi dalam pelayanan yang tanpa batas.  Saat bekerja dalam keseharian, selalu saja saya bersandar pada anugrah yang Tuhan berikan, seolah menuntun: betapa dahsyat kekuatanNya membimbing dan mengarahkanku. Pun demikian, saya hanyalah seorang perempuan biasa, manusia yang sama dengan kebanyakan kita. Tentu, setiap tugas dan tanggungjawab memuat konsekuensi-konsekuensi yang harus saya hadapi, terima dan jalani.

Menjalani hidup sebagai politisi (sekalipun saya lebih senang jika label politisi itu tak disematkan dalam interaksi saya dengan banyak orang), saya menemui banyak hal. Yang menyenangkan dan menuai kebahagiaan, atau yang menyedihkan lalu melahirkan keprihatinan. Itu semua adalah juga saya pahami sebagai garis keanugrahan dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Sengaja saya tulis penggalan kalimat dari Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade karya dari Dee. Sebab kalimatnya seperti berbuah nilai yang selaras dengan apa yang saya alami. Tidak berarti saya mendaulatkan sebagai pemilik kebenaran, tapi satu hal yang pasti, saya berusaha untuk selalu dalam jalan kebaikan, jalan kebenaran.

Menjadi caleg dari partai yang selama ini diidentikkan sebagai partai wong cilik tentu membuat saya selalu tergugah untuk sadar sesadar-sadarnya bahwa diluar banyak hal yang bisa saya lakukan. Sekalipun itu hanya berbagi senyum dan tawa. Saya merasakan, betapa indahnya hidup jika keseharian kita berisi muatan-muatan kemanusiaan dan kasih sayang.

Terima kasih Tuhan...


Pengasapan di RW 015 Perumahan Taman Wisma Asri-I Kel. Teluk Pucung Kec. Bekasi Utara




Tasyakuran untuk Pembangunan Jalan Baru di Wilayah RW 08 Kel. Perwira Bekasi Utara






12 November 2013

Kenapa Mega dan Jokowi Makin "Mesra"?

Kebersamaan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang makin intensif belakangan ini menimbulkan asumsi pencalonan Jokowi sebagai presiden yang kian nyata. Ada apa di balik kemesraan Mega dan Jokowi ini? PDI Perjuangan melihat bahwa saat ini Mega tengah mendidik Jokowi.

Catatan Harian Enie Widhiastuti (8)

Seiring berjalannya waktu, saya merasakan semakin kuat daya kompetitif antar caleg. Hal ini tidak saja pada level antar partai, tapi juga ditingkat internal partai. Bersyukur, pemilu legislatif bukan kali pertama saya ikuti sebagai caleg. Sehingga secara psikologis saya merasa hal yang amat sangat terbiasa menghadapinya. Suka duka menjadi caleg seperti halnya juga suka duka saya menjalani kehidupan ini. Panthare, mengalir dengan sendirinya.
Sebagai caleg perempuan, tentu saya menghadapi begitu banyak ragam pandangan. Ada kalanya, sebagai perempuan begitu dilekatkan dengan ketidakberdayaan, dengan titik kelemahan yang tanpa argumentasi memadai, tapi hanya berdasarkan stigma-stigma yang selama ini menjalar ditengah masyarakat. Namun semuanya saya pahami sebagai sebuah tantangan dan bukan sebuah kendala. Hal yang terasa prinsip bagi seorang perempuan adalah menyangkut kodratiah. Pun demikian, saya yakin perempuan sekalipun akan mampu menunjukkan eksistensinya ketika ruang untuk mengeksplorasi kemampuannya dibuka lebar dan sama layaknya ruang bagi kaum pria atau laki-laki.

07 November 2013

Cara Menghitung Perolehan Kursi Parpol di DPR dan DPRD


DPR RI memiliki 560 kursi yang terbagi ke dalam 77 daerah pemilihan (dapil) dengan jumlah kursi bervariasi tiap dapil. Cukup rumit untuk menghitung perolehan kursi masing-masing parpol di tiap dapil. Aturan mengenai tata caranya tercantum dalam Peraturan KPU nomor 15 tahun 2009.

Sebelum menghitung perolehan kursi parpol per dapil, terlebih dulu kita harus menentukan parpol mana yang lolos Parliamentary Threshold (PT) sebesar 2,5 persen dari surat suara sah nasional dan parpol mana yang tidak lolos. Parpol yang tidak lolos PT tidak akan diikutkan dalam hitung-hitungan pembagian kursi.
Kita andaikan, dengan jumlah pemilih tetap kita mencapai sekitar 171 juta, hanya 160 juta di antaranya yang mengunakan hak suaranya. Dari jumlah sekian itu, surat suara sah nasional ternyata berjumlah 150 juta. Dengan demikian jumlah suara yang harus dimiliki parpol untuk lolos PT adalah 2,5 persen dari 150 juta, alias 3.750.000 suara.

05 November 2013

PDIP Merasa seperti Cewek Cantik

PDIP Merasa seperti Cewek Cantik
Jakarta -Politikus senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Pramono Anung membenarkan bahwa banyak partai lain yang menjalin komunikasi politik untuk 2014. Pramono mengibaratkan PDI Perjuangan seperti perempuan cantik yang diincar banyak orang. "PDI Perjuangan itu ibarat cewek cantik, banyak yang melirik," kata Pramono ketika ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jumat, 1 November 2013.

KPU Klaim Sudah `Bersihkan` 3,2 Juta DPT Bermasalah


KPU Klaim Sudah `Bersihkan` 3,2 Juta DPT Bermasalah
Jakarta : Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengklaim sudah 'membersikan' 3,2 juta dari 10,4 juta data pemilih Pemilu 2014 yang bermasalah, yang belum memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK). KPU menargetkan 4 Desember 2013 semua data perbaikan rampung, agar tidak ada warga negara yang kehilangan hak pilihnya.

"Target, ya sampai 4 Desember, yang sudah ditindaklanjut dan dibersihkan sudah ada 3,2 juta yang tersebar," kata Komisioner KPU Ferry Kurnia Rizkiyansyah di Gedung KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, Rabu (6/11/2013).
Ferry memaparkan mekanismenya, KPU pusat mengkoordinir KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk bekerjasama dengan pemerintah daerah masing-masing. Yakni melalui Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) di masing-masing wilayah.
"Ya koordinasi dengan Kemendagri dan teman-teman KPU daerah juga koordinasi dengan Dukcapil. Kan masalahnya cuma enggak ada NIK yang 10,4 juta itu. Sedang untuk data selebihnya masih berproses di lengkapi," papar Ferry.

Sumber:Liputan6.com

Logika Jokowi dan Basuki


Jakarta (ANTARA News) - Bersih-bersih ala Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo bersama dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama kepada pegawai negeri sipil (PNS) yang terendus atau tertangkap tangan suka nilep duit rakyat mencetuskan logika bahwa yang bisa diadili atau dinilai atau dianalisis bukanlah kata-kata melainkan fakta.

Ya fakta, bukan rentetan kata-kata. Dan logika Jokowi dan Basuki bersandar dan bersumber kepada ungkapan Latin klasik bahwa "facta non verba" (karya nyata bukan hanya kata-kata semata).

Mereka yang kaya berkata-kata, namun miskin bertindak, kata lugasnya berbohong. Apakah logika Jokowi dan Basuki berjalan di atas rel "yang benar" dan "yang baik"?

PDIP : 10,4 juta DPT berpotensi cacat hukum


Jakarta (ANTARA News) - Ketua Tim Khusus Kajian Daftar Pemilih PDI Perjuangan Arif Wibowo mengatakan sebanyak 10,4 juta data pemilih belum lengkap yang dimasukkan ke dalam Daftar Pemilih Tetap berpotensi cacat hukum.

"Maka itu kami (PDIP) minta agar tidak ditunda penetapannya karena ada angka signifikan 10 juta yang bermasalah, berarti 10 juta itu cacat hukum," kata Arif di halaman Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jakarta, Senin malam.

03 November 2013

Ketidakadilan Syarat Caleg

Oleh: Dr W. Riawan Tjandra
Pendaftaran calon legislatif (caleg) yang saat ini dilakukan berdasarkan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu), jika dicermati secara jeli sebenarnya mengandung potensi ketidakadilan yang melanggar asas persamaan (equality principle) sebagaimana yang menjadi prinsip dasar dalam bernegara yang diatur pada Pasal 27 ayat (1) UUD Negara RI 1945. Ketentuan yang melanggar asas persamaan tersebut terjadi di saat KPU berupaya mengimplementasikan Pasal 51 UU No. 8 Tahun 2012 yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan KPU No. 07 Tahun 2013 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota.

(De) ideologisasi Partai Politik?

Dr .W. Riawan Tjandra
(Dewan Penasehat LSN/Tenaga Ahli dan Pengamat filsafat hukum LSN, 
mengajar di FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta)

Mencermati perkembangan kasus-kasus korupsi politik yang nyaris melanda semua parpol di negeri ini, sulit untuk tidak memberikan penilaian bahwa parpol-parpol saat ini telah mengalami banalitas makna idelogi. Dari partai sekuler sampai partai yang berjubah agama tak lepas dari belitan korupsi politik yang berakar dari kegelapan siklus pendanaan parpol. Parpol hanya menjelma menjadi mesin politik dan kendaraan sewaan bagi kepentingan pencalo(n)an anggota legislatif di saat menjelang pemilu.

SOSIALISASI KAMPANYE PARTAI POLITIK DAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH

 KPU Propinsi Jawa Barat, pada Jumat (11/10), menyosialisasikan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pedoman PelaksanaanKampanye dan PKPU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye. Sosialisasi yang digelar di Aula KPU Jawa Barat itu diikuti pimpinan partai politik (parpol) tingkat provinsi dan calon DPD, yang dibagi kepada dua sesi.
“Terkait aturan pemasangan alat peraga kampanye, KPU Jawa Barat hanya mengatur empat hal yaitu baliho, spanduk, bendera, dan umbul-umbul. Selain dari itu, parpol bebas berkampanye, tapi tetap memperhatikan aturan yang telah ditetapkan pemerintah daerah,” kata Ketua KPU Jabar H. Yayat Hidayat.

28 Oktober 2013

Catatan Harian Enie Widhiastuti (6)

Hari ini kita sebagai bangsa memperingati Hari Sumpah Pemuda yang ke-85 tahun. Perjalanan yang panjang dari sebuah tekad yang diikrarkan oleh pemuda-pemudi Indonesia kala itu seolah menjadi tonggak untuk mencapai kemerdekaan di tahun 1945 (Proklamasi 17 Agustus 1945). Dalam sejarah peradaban bangsa, pemuda merupakan aset bangsa yang sangat mahal dan tak ternilai harganya. Kemajuan atau kehancuran bangsa dan negara banyak tergantung pada kaum mudanya sebagai agent of change (agen perubahan). Sejarah mencatatkan peran pemuda bagi kelangsungan bangsa ini. Pada setiap perkembangan dan pergantian peradaban selalu ada darah muda yang mempeloporinya.

Bung Karno adalah pemimpin yang sangat concern atas peranan pemuda. Dalam pidatonya yang berapi-api dan semangat membara mengatakan, "Seribu orang tua hanya dapat bermimpi, satu orang pemuda dapat mengubah dunia." Dibuku Soekarno Penyambung Lidah rakyat Indoensia, ia menegaskan "Beri aku 1000 orang tua, niscaya akan ku cabut semeru dari akarnya Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia".

Pemuda merupakan salah satu elemen bangsa yang selalu berdiri digaris depan dalam menghadapi berbagai persoalan bersama. Dalam sejarahnya, fakta menunjukkan bahwa pemuda adalah elemen utama yang melahirkan momen-momen penting dalam sejarah perubahan di negeri ini. 

Dari peran kecil hingga porsi peranan yang jauh lebih besar, tampaknya pemuda selalu menggeliatkan semangatnya. Itu sebabnya, saya selalu berpesan pada generasi muda untuk selalu menjaga aura perubahan yang sudah tertanam jauh dan dibulatkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Saya sedih jika mendapati pemuda tanpa semangat, lemah motivasi hidup dan akrab dengan keputusasaan. Bahwa problematika kehidupan memang dihadapi semua orang, termasuk pemuda. Namun itu bukan alasan untuk berpangku tangan apalagi putus asa. "Bukankah tak ada jaminan kesuksesan tanpa upaya, sebaliknya kegagalan adalah jaminan bagi yang tak berbuat apa-apa", inilah prinsip yang harus tertanam dibenak semua pemuda masa kini.