"Cuaca
demi cuaca melalui kami, dan kebenaran akan semakin dipojokkan. Sampai akhirnya
nanti, badai meletus dan menyisakan kejujuran yang bersinar. Entah
menghangatkan, atau menghanguskan."
--Dee, Filosofi Kopi;
Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade--
Dibenak
saya, hanya ingin mengabdi dalam pelayanan yang tanpa batas. Saat bekerja
dalam keseharian, selalu saja saya bersandar pada anugrah yang Tuhan berikan,
seolah menuntun: betapa dahsyat kekuatanNya membimbing dan mengarahkanku. Pun
demikian, saya hanyalah seorang perempuan biasa, manusia yang sama dengan
kebanyakan kita. Tentu, setiap tugas dan tanggungjawab memuat
konsekuensi-konsekuensi yang harus saya hadapi, terima dan jalani.
Menjalani
hidup sebagai politisi (sekalipun saya lebih senang jika label politisi itu tak
disematkan dalam interaksi saya dengan banyak orang), saya menemui banyak hal.
Yang menyenangkan dan menuai kebahagiaan, atau yang menyedihkan lalu melahirkan
keprihatinan. Itu semua adalah juga saya pahami sebagai garis keanugrahan dari Tuhan
Yang Maha Kuasa.
Sengaja
saya tulis penggalan kalimat dari Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade karya
dari Dee. Sebab kalimatnya seperti berbuah nilai yang selaras dengan apa yang
saya alami. Tidak berarti saya mendaulatkan sebagai pemilik kebenaran, tapi
satu hal yang pasti, saya berusaha untuk selalu dalam jalan kebaikan, jalan
kebenaran.
Menjadi
caleg dari partai yang selama ini diidentikkan sebagai partai wong cilik tentu
membuat saya selalu tergugah untuk sadar sesadar-sadarnya bahwa diluar banyak
hal yang bisa saya lakukan. Sekalipun itu hanya berbagi senyum dan tawa. Saya
merasakan, betapa indahnya hidup jika keseharian kita berisi muatan-muatan
kemanusiaan dan kasih sayang.
Terima
kasih Tuhan...
0 komentar:
Posting Komentar