BANNER ENIE WIDHIASTUTI

Pages

22 Oktober 2013

ANALISIS SWOT PEREMPUAN DAN POLITIK DALAM UPAYA MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN PADA PEMILU 2014

Oleh Ari Pradhanawati

Setiap menjelang pesta demokrasi, perempuan di Indonesia selalu mendapat kejutan-kejutan yang sangat berarti. Dimulai sejak Pemilu 2004 dan Pemilu 2009tentang kuota perempuan sekurang-kurangnya 30% baik yang duduk sebagai pengurus partai politik, sebagai calon anggota KPU maupun sebagai calon anggota DPR/DPRD. Sejak saat itulah perempuan Indonesia yang selama ini tidak sadar kalau sudah terkena getar gender (genderquake) mulai bangkit untuk memperjuangkan kebijakan affirmative action.
Kemudian menjelang Pemilu 2014, kaum perempuan kembali mendapat kesempatan lagi bahwa parpol peserta pemilu harus memenuhi syarat untuk menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat (UU No.8/2012, pasal 15 huruf d) dan pencalonan anggota DPR/D (UU No 8/2012 pasal 55).
Selanjutnya pengajuan calon legislatif (caleg) perempuan disusun dengan model zipper (UU No. 8/2012, pasal 56 ayat 2), misalnya nomor urut 1 caleg laki-laki, nomor urut 2 caleg perempuan, nomor urut 3 caleg laki-laki; atau nomor urut 1 caleg perempuan, nomor urut 2 dan 3 caleg laki-laki; atau nomor urut 1 dan 2 caleg laki-laki, nomor urut 3 caleg perempuan, dan seterusnya untuk nomor urut 4, 5, 6, nomor urut 7,8, 9, nomor urut 10, 11, 12 minimal harus ada 1 orang calegperempuan.
Ketentuan model zipper dinilai oleh caleg perempuan cukup akomodatifapabila mendapat nomor urut 1, karena dipastikan mempunyai peluang yang besar untuk memperoleh kursi terutama jika diajukan oleh parpol besar, tetapi dapat nomor urut berapa pun bagi caleg perempuan tidak masalah karena penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak (UU No 8/2012 pasal 215 ayat a).
Kita patut bangga dan menghargai atas perjuangan kaum perempuan di legislatif, para aktivis perempuan dan para feminis yang menginginkan semua pihak bersedia mendukung affirmative action  dengan harapan agar ada perimbangan antara laki-laki dengan perempuan di lembaga legislatif maupun lembaga-lembaga pengambilan keputusan, sehingga kebijakan-kebijakan publik/politik tidak akan bias jender tetapi justru akan mendinginkan suhu politik yang semakin hari kian memanas. Mengapa kaum perempuan perlu kuota tertentu? Mengapa kuota sebesar30% masih perlu ditingkatkan?

Kuota merupakan istilah yang bersifat emosional, mengundang reaksi keras dari mereka yang terikat dengan pandangan konservatif dalam meningkatkan level playing flied, yaitu, membiarkan keberadaan hasil yang tidak imbang seperti apa adanya. Apakah kuota dianggap adil atau tidak akan sangat tergantung pada apakah persepsi orang terhadap keadilan sebagai ”kesempatan yang adil” atau ”hasil yang adil”. Beberapa kuota yang berhasil diperkenankan adalah kuota sukarela, diterapkan oleh partai poltik untuk menunjukkan komitmennya terhadap keterwakilan perempuan. Contohnya adalah komitmen ANC di Afrika Selatan untuk memberikan 30% kuota bagi kandidat perempuan. Dan sukses besar dicapai melalui kuota wajib yang dituangkan baik dalam konstitusi atau Undang-Undang Pemilu (IFES, tt:17-18).
Dengan demikian adalah suatu kewajaran pula andaikata kaum perempuan di Indonesia memperjuangkan dan memperoleh kuota tertentu, karena selama ini perempuan sepertinya sengaja dimarginalkan oleh kaum laki-laki khususnya untuk duduk sebagai anggota legislatif maupun jabatan-jabatan publik lainnya.
Kesempatan perempuan untuk terjun dalam dunia politik, yaitu dengan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif, merupakan hal yang positif. Keterlibatan mereka yang semakin besar dalam kancah politik dan kesempatan mereka yang lebih terbuka untuk menjadi calon anggota legislatif akan memungkinkan mereka ikut serta secara lebih leluasa melakukan pendidikan politik kepada warga negara.
Dengan terbukanya kesempatan yang lebih besar bagi kaum perempuan untuk menjadi calon anggota legislatif ini akan menjadikan kaum perempuan semakin mudah memperjuangkan hak-haknya yang selama ini diremehkan kaum laki-laki. Tentu banyak persoalan lain yang menyangkut keperempuanan yang selama ini belum digarap dengan tuntas, akan memungkinkan diselesaikan secara substansial dan serius.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terwujudnya keterwakilan perempuan yang selama ini diperjuangkan kaum perempuan di Indonesia, antara lain adalah : (1) sistem pemilu; (2) peran partai-partai politik dan; (3) affirmative action (IFES, tt:7).

Sistem Pemilu
          Ada banyak sistem pemilu yang dipakai negara-negara demokrasi dalam menyelenggarakan pemilihan umum dan desain dari sistem pemilu tentu berhubungan erat dengan perolehan suara parpol, perolehan suara caleg sampai menjadi perolehan/penetapan kursi.
        Menurut Ben Reilly dan Andrew Reynolds (1998: 3) ada beberapa jenis sistem pemilu yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu: pluralitas-mayoritas; semi-proposional dan proposional. Ketiga kelompok besar ini dapat dikelompokkan lagi menjadi sepuluh anak kelompok. Untuk anak kelompok sistem pluralitas-mayoritas terdiri dari : First Past the Post (FPTP), Block Vote (BV),Alternative Vote (AV), Two-Round System (TRS); untuk kelompok sistem semi-proposional terdiri dari Limited Vote (LV), Single Non-Transferable Vote (SNTV); untuk sistem proposional  terdiri dari Representasi Proposional Daftar (RP Daftar),Mixed Member Propotional (MMP), dan Single Transferable Vote (STV).
       
Peran Partai Politik
Dengan pemberian kuota 30% maka mulai kaum perempuan harus mulai berjuang melalui sarana-sarana yang ada. Partai politik merupakan salah satu sarana atau wadah yang sah dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Di sini kaum perempuan harus mampu menunjukkan kemauan dan kemampuannya beraktivitas dalam partai, sehingga performance-nya di situ dapat dipakai sebagai standar penilaian prestasi dan sekaligus sebagai upaya menepis tuduhan bahwa pemberian kuota hanyalah sekedar belas kasihan  kepada kaum perempuan.
Dalam hal ini kaum laki-laki harus rela mengakui hak-hak politik kaum perempuan dan sekaligus menjadikan mereka partner dalam berjuang. Para petinggi partai politik perlu mendukung kaum perempuan untuk berpolitik praktis, apabila mereka mau dan mampu, dengan jalan memberi jabatan-jabatan fungsionaris. Sudah barang tentu cara seperti ini dapat memuluskan jalan bagi kaum perempuan untuk menjadi anggota badan-badan perwakilan (legislatif). Tetapi jika perempuan yang di ajukan sebagai calon legislatif atau untuk mengemban tugas di lembaga eksekutif atau yudikatif atau jabatan-jabatan publik lainnya dinilai tidak layak, maka tidak perlu dipilih karena tidak semua perempuan pantas untuk dipilih.

Affirmative Action
Kuota sebesar 30% sekarang sudah jadi harga mati. Namun, dilihat dari aspek kesiapan kaum perempuan sendiri, nampaknya untuk memenuhi angka tersebut memang tidak mudah karena saat ini jumlah perempuan yang tertarik masuk serta terlibat aktif dalam partai politik terutama yang duduk sebagai fungsionaris masih sedikit.
Dengan demikian, nampaknya kuota bagi kaum perempuan untuk duduk sebagai calon anggota legislatif atau duduk dalam lembaga-lembaga perwakilan, baik di tingkat pusat maupun daerah, sebesar 30% sudah merupakan ketentuan hukum yang bersifat mengikat. Tetapi tindakan-tindakan affirmative action harus terus dilakukan supaya kuota perempuan dapat terpenuhi sekalipun tidak maksimal

Penulis adalah Dosen Program Doktor Ilmu Sosial FISIP UNDIP dan 
Anggota KPU Jawa Tengah 2003-2008

0 komentar:

Posting Komentar