BANNER ENIE WIDHIASTUTI

Pages

03 November 2013

Ketidakadilan Syarat Caleg

Oleh: Dr W. Riawan Tjandra
Pendaftaran calon legislatif (caleg) yang saat ini dilakukan berdasarkan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD (UU Pemilu), jika dicermati secara jeli sebenarnya mengandung potensi ketidakadilan yang melanggar asas persamaan (equality principle) sebagaimana yang menjadi prinsip dasar dalam bernegara yang diatur pada Pasal 27 ayat (1) UUD Negara RI 1945. Ketentuan yang melanggar asas persamaan tersebut terjadi di saat KPU berupaya mengimplementasikan Pasal 51 UU No. 8 Tahun 2012 yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan KPU No. 07 Tahun 2013 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota.
            Ketidakadilan  tersebut terlihat dalam pengaturan mengenai kewajiban pengunduran diri bagi bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/kota sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara. Dalam UU Pemilu, tidak ada ketentuan yang melarang kewajiban pengunduran diri bagi Menteri/Ketua Lembaga yang mendaftarkan diri sebagai bakal calon legislatif.  Tidak adanya kewajiban mengundurkan diri bagi bakal calon legislatif yang berasal dari Menteri/Ketua Lembaga tentunya melanggar asas persamaan. Isu ketidakadilan syarat pencalegan tersebut mengemuka ketika KPU menerapkan prinsip tersebut terhadap Kepala Desa yang mendaftarkan diri sebagai bakal calon legislatif. Kepala Desa yang mendaftarkan diri sebagai caleg diharuskan mengundurkan diri dari jabatannya.
            Jika mencermati original intent penyusunan UU Pemilu sebenarnya maksud diadakannya kewajiban mengundurkan diri bagi para pejabat dalam pendaftaran bakal calon legislatif tersebut untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest) dalam jabatan publik di saat seorang pejabat mencalonkan diri sebagai bakal calon legislatif. Namun, adanya kelemahan dalam konstruksi regulasi tersebut terkesan membuat pembedaan perlakuan terhadap jabatan-jabatan tertentu dalam syarat pencalegan.
Melihat tafsir KPU dalam mengimplementasikan UU Pemilu yang mengharuskan pengunduran diri bagi calon legislatif yang berasal dari unsur Kepala Desa karena dikhawatirkan mengganggu netralitas dalam pelaksanaan pemilu didasarkan atas logika pemikiran bahwa Kepala Desa berperan langsung dalam pelaksanaan pemilu mulai dari penunjukan kepanitiaan pemilu di desa sampai pada berbagai kewajiban pemerintahan pada operasional pelaksanaan pemilu. Semestinya logika pemikiran tersebut juga berlaku mutatis mutandis terhadap para Menteri yang kini berbondong-bondong mendaftarkan diri sebagai bakal caleg. Kewajiban pengunduran diri bagi pejabat publik aktif dalam mekanisme pencalegan semestinya didasarkan atas logika kemungkinan penggunaan fasilitas negara/daerah untuk kepentingan politik dalam pencalegan secara langsung atau tidak langsung yang bisa mengganggu netralitas dalam pemilu dan merugikan kepentingan publik/rakyat. Mendasarkan pada logika tersebut, maka kewajiban pengunduran diri bagi pejabat publik dalam mekanisme pencalegan semestinya ditafsirkan secara sama untuk seluruh pejabat publik, tidak terkecuali juga harus diberlakukan bagi para Menteri yang mendaftarkan diri sebagai bakal caleg. Dalam prinsip demokrasi konstitusional semestinya tidak boleh diberikan privilege tertentu kepada siapapun jika yang bersangkutan akan memperoleh keuntungan secara tidak wajar dari kelemahan sistem legislasi.
Jika KPU menerapkan kewajiban bagi Kepala Desa untuk mengundurkan diri di saat mendaftarkan sebagai bakal caleg, semestinya hal yang sama juga bisa diterapkan untuk para Menteri dengan menerapkan penafsiran luas (ekstensif) terhadap Pasal 12 huruf m dan Pasal 51 ayat (1) huruf m UU Pemilu yang di dalamnya mengharuskan kesediaan untuk “tidak merangkap sebagai pejabat negara lainnya.” KPU bisa menuangkan ketentuan tersebut melalui Peraturan KPU untuk menerapkan asas persamaan (equality) dalam syarat pencalegan bagi semua pejabat publik tanpa kecuali.
Penulis adalah Pengamat Hukum, mengajar di FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta

0 komentar:

Posting Komentar