BANNER ENIE WIDHIASTUTI

Pages

09 Desember 2013

IJ,KASIMO; Politisi Berpendirian Teguh



Salah satu pendiri Partai Katolik Indonesia ini dikenal berpegang teguh pada kebenaran, menolak oportunisme, serta menjunjung tinggi etika berpolitik yang bermartabat. Dia pernah beberapa kali menjabat sebagai menteri dan turut berjasa memperjuangkan kemerdekaan dan pluralisme di Indonesia. Atas jasa-jasanya, pemerintah Indonesia menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2011.

Kasimo Hendrowahyono lahir di Yogyakarta pada tahun 1900. Ia adalah putra kedua dari sebelas bersaudara pasangan Dalikem dan Ronosentika, seorang prajurit Keraton 

Yogyakarta sekaligus tokoh yang memperjuangkan hak-hak anak jajahan. Sebagai putra prajurit, sejak kecil Kasimo dididik sesuai dengan tradisi keraton. Oleh karena itu, ia amat memahami cara hidup keraton yang semuanya berpusat pada Sultan.

Ketika kakaknya dipersiapkan untuk menggantikan posisi sang ayah, sebagai anak laki-laki tertua nomor dua, secara otomatis Kasimo harus mulai bertanggung jawab pada keluarganya. Ia harus bekerja keras membantu ibunya mengurus rumah tangga dan membesarkan sembilan adiknya. Setelah lulus dari Bumi Putra Gading, Kasimo masuk sekolah keguruan di Muntilan yang didirikan oleh Romo van Lith. Kasimo yang ketika itu tinggal di asrama pada akhirnya mulai tertarik untuk mendalami agama Katolik. Tepat pada hari raya Paskah, April 1913, Kasimo yang saat itu masih berusia 13 tahun dibaptis secara Katolik dan mendapat nama baptis Ignatius Joseph. Setelah menamatkan pendidikannya di Muntilan, Kasimo hijrah ke Bogor guna meneruskan pendidikannya di Landbouwschool.

Dalam menjalankan perannya sebagai politisi, Kasimo selalu memiliki sikap yang tegas ketika mempertahankan prinsipnya. Ia bahkan tak segan mengatakan tidak untuk sesuatu yang bertentangan dengan hati nuraninya. Pendirian teguh ia tunjukkan saat menolak gagasan Nasakom yang ditawarkan Presiden Soekarno. Begitu lulus, Kasimo mulai bekerja sebagai guru pertanian di Tegal dan Surakarta. Kemudian ia terjun ke dunia politik dengan ikut mendirikan dan menjadi ketua pertama partai politik Katholiek Djawi. Tahun 1925, partai tersebut berubah nama menjadi Perkoempoelan Politiek Katholiek di Djawa. Lima tahun kemudian, berganti nama lagi menjadi Partai Politik Katolik Indonesia (PPKI). Partai tersebut berdiri sendiri selain Indisch Katholieke Partij tahun 1917 yang sebagian besar anggotanya orang Belanda. Saat pemerintah Jepang berkuasa, PPKI sempat dilarang keberadaannya.

Antara tahun 1931-1942, ia diangkat menjadi anggota Volksraad. Pada 1936, ia ikut menandatangani petisi Soetardjo yang menginginkan kemerdekaan Hindia-Belanda. Di masa awal kemerdekaan, PPKI dihidupkan kembali atas gagasan Kasimo kemudian berubah nama menjadi Partai Katolik Republik Indonesia yang dipimpinnya hingga tahun 1961.
Peran aktifnya di dunia politik pada akhirnya membawa Kasimo masuk dalam jajaran pemerintahan. Tahun 1945 ia diangkat menjadi anggota KNIP. Kemudian pada 1950, ia duduk sebagai anggota DPR selama sepuluh tahun. Kasimo juga beberapa kali mendapat kepercayaan untuk menjabat sebagai Menteri, diawali pada tahun 1947 saat ia diangkat menjadi Menteri Muda Kemakmuran Kabinet Amir Sjarifuddin, setahun kemudian di bawah Pemerintahan Darurat (Dr. Soekiman) ia merangkap sebagai 
Menteri Persediaan Makanan Rakyat dan Menteri Gerilyawan di Jawa Tengah Kabinet Hatta I dan Hatta II. Selama menjadi menteri yang membawahi bidang-bidang tersebut, ia mengusahakan swasembada pangan ketika hubungan dengan dunia luar terputus.

Kasimo kembali menjabat sebagai menteri pada Kabinet Soesanto Tirtoprodjo atau kabinet peralihan. Jabatan sebagai Menteri Perdagangan juga pernah diamanatkan padanya ketika bergabung dalam Kabinet Burhanuddin Harahap. Pada era Republik Indonesia Serikat (RIS), Kasimo sempat menjabat sebagai wakil Republik Indonesia. Setelah RIS dilebur, jabatannya berganti menjadi anggota DPR. Kala duduk sebagai anggota dewan, Kasimo turut memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara. Perjuangan lain yang ditunjukkan Kasimo adalah saat ia ikut merebut Irian Barat.

Pada masa Agresi Militer II (Politionele Actie), ia bergerilya di Jawa Tengah dan Jawa Timur bersama menteri lainnya yang tidak ditangkap Belanda. Kemudian ketika berada di Yogyakarta, Kasimo mulai memprakarsai kerjasama seluruh partai Katolik Indonesia untuk bersatu menjadi Partai Katolik. Upaya itu dimaksudkan Kasimo untuk mengubah citra golongan Katolik sebagai unsur yang melekat dengan kolonialisme menjadi bagian integral dari bangsa Indonesia.

Demikian pula di tahun 1957, saat Presiden Soekarno menggagas 'kabinet kaki empat' yang terdiri dari empat partai pemenang pemilu 1955 yakni PNI, Masyumi, NU dan PKI, Kasimo langsung menyatakan penolakannya. Maklum saja, kala itu Partai Katolik Indonesia dan Masyumi pimpinan Natsir memang cukup lantang menolak bekerja sama dengan PKI di kabinet. Alasannya, menerima PKI di kabinet berbahaya bagi demokrasi dan Negara RI. Soekarno dan sejumlah anggota Partai Katolik kemudian memarahi Kasimo dalam kongres partainya di Surakarta. Akan tetapi sikap itu hanya dibalas Kasimo dengan senyuman seraya tetap berpegang teguh pada kebenaran yang diyakininya dan menolak oportunisme.

Guna melakukan regenerasi setelah 32 tahun menjadi orang nomor satu di Partai Katolik Indonesia, Kasimo menyerahkan jabatannya sebagai Ketua Umum kepada Frans Seda pada tahun 1960. Masih di tahun yang sama, ia menjabat sebagai anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung), yang kemudian dibubarkan PKI. Saat pemerintah 
Orde Baru mulai berkuasa pada 1967, Kasimo bergabung dalam Tim Pemberantasan Korupsi. Setahun kemudian, ia kembali duduk di DPA hingga 1973.

Pada 1980, sebagai bentuk apresiasi atas perjuangannya, Paus Yohanes Paulus II menganugerahkan Kasimo penghargaan Bintang Ordo Gregorius Agung serta diangkat menjadi Kesatria Komandator Golongan Sipil dari Ordo Gregorius Agung. Tokoh politik religius ini wafat pada 1 Agustus 1986 di RS Saint Corolus, Jakarta, jenazahnya dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Tahun 2011, seperempat abad setelah kepergiannya, pemerintah Indonesia memberikan gelar  pahlawan Nasional pada Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono. Penganugerahan gelar tersebut diberikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara kepada ahli waris Kasimo yang diwakili oleh putranya, IM Wartono. Bapak adalah orang yang sederhana, jujur, dan disiplin. Dia mengajari agar kami tidak boleh sombong. Wah, susah sekali. Saya tidak bisa menirunya," ujar Wartono yang duduk di kursi roda seperti dikutip dari situs Kompas.com.

Selain keluarga, penganugerahan gelar tersebut juga disambut sukacita oleh pihak PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) sebagai salah satu tim yang getol mendukung IJ Kasimo agar mendapat gelar  pahlawan Nasional. Menurut Ketua Forum Alumni PMKRI, Hermawi Fransiskus Taslim, anugerah pahlawan memang layak disematkan kepada IJ Kasimo atas dedikasinya dalam memperjuangkan kepentingan bangsa. Selain mempunyai andil dalam merebut kemerdekaan, Kasimo juga dipandang sebagai sosok yang memiliki sikap yang patut diteladani lantaran dalam karir berpolitiknya ia selalu menjunjung tinggi etika dan martabat.

Fransiskus juga menjelaskan, meski Kasimo tokoh minoritas, namun dalam berpolitik di benaknya tidak ada minoritas dalam konsep kewarganegaraan. Kasimo memandang istilah minoritas dan mayoritas itu adalah konsep statistik bukan kewarganegaraan. Sebagai bentuk syukur atas gelar pahlawan nasional yang disematkan pada Kasimo, PMKRI pada akhir November 2011 mengadakan misa syukur di Katedral, Jakarta Pusat. Acara tersebut dihadiri para uskup dan perwakilan negara-negara sahabat serta ribuan umat Katolik.

0 komentar:

Posting Komentar