BANNER ENIE WIDHIASTUTI

Pages

22 Oktober 2013

“Saya komitmen menjadi politisi, setiap hari harus bekerja politik”


Rieke Diah Pitaloka termasuk dari sekitar 18% caleg perempuan yang terpilih menjadi anggota DPRRI pada pemilu lalu. Sebagai seorang artis, Rieke mengukui dirinya diuntungkan dari segi pouplaritas. Namun, perjuangan dan stategi politik yang sudah dibangunnya lama menjadi hal sangat penting dari upayanya memanfaatkan jabatan politik di parlemen untuk penguatan kepentingan perempuan dan kelompok marjinal lainnya. Berikut wanwancara seputar visi dan misi politiknya serta pengalamannya menjadi caleg hingga agenda-agenda yang hendak diperjuangkannya melalui lembaga legislatif. Nunung Qomariyah dari Redaksi Komnas Perempuan melakukan wawancara yang berlangsung selama kurang lebih 1,5 jam dan dilakukan di rumah pribadinya di Kukusan Depok.
Apa yang melatarbelakangi Mbak Rieke memutuskan terjun ke politik praktis, dan sejak kapan?
Sejak tahun 1997, saya sudah aktif di gerakan mahasiswa. Buat saya, berpolitik tidak harus di legislatif atau eksekutif, tetapi bisa di jalur lain. Namun, melihat sistem politik di Indonesia seperti sekarang ini, saya pikir, bagus kalau memilih jalur partai.

Pada akhir tahun 1998, saya bergabung dengan PKB; sebelumnya saya di organisasi pemudanya, yaitu Garda Bangsa. Kemudian saya masuk ke DPP untuk pemenangan pemilu bersama Bu Khofifah Indar Parawansa. Pada tahun 2004 saya menjadi Caleg PKB untuk daerah pemilihan Surabaya, tetapi gagal terpilih karena adanya pergeseran. Terakhir, tahun 2007, saya dipercaya untuk menjadi wakil Sekjen DPP PKB.
Selama bergabung dengan PKB, banyak proses yang saya lalui. Refleksi saya adalah bahwa ideologi bukan sekedar gagasan di kepala, tetapi harus bisa diwujudkan. Karena terlalu banyak konflik internal di partai tersebut, saya berpikir bagaimana mungkin bisa bekerja maksimal dalam kondisi seperti itu. Akhirnya, pada tanggal 10 Januari 2008 saya memutuskan untuk mengundurkan diri dan bergabung dengan PDI Perjuangan.
Di PDIP, alhamdulilah, entah karena Ketua Umumnya perempuan, sehingga saya bisa lebih banyak berkiprah. Gagasan-gagasan saya juga didengar dan diterima, dilibatkan dalam penjaringan dan pencalegan. Kita juga bekerja sama dengan Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia untuk penjaringan dengan menggunakan sistemscoring. Hasilnya bisa dilihat, beberapa perempuan bahkan aktivis berhasil kita jaring dan menjadi caleg tahun 2009 lalu.
Kenapa perempuan perlu masuk dalam wilayah pengambilan kebijakan secara langsung, seperti di legislatif?
Terus terang saya takut ketika orang sekedar masuk saja menjadi anggota legislatif. Tidak ada jaminan setiap perempuan yang masuk di legislatif secara otomatis mempunyai keberpihakan terhadap kepentingan perempuan. Bisa jadi, ada juga laki-laki yang justru mempunyai kepedulian terhadap perempuan dibandingkan dengan perempuan sendiri. Idealnya, baik perempuan atau laki-laki harus mempunyai perspektif jender, sehingga harapan akan perubahan terhadap kondisi perempuan yang lebih baik akan terwujud.
Namun demikian, pengalaman yang dialami antara perempuan dan laki-laki berbeda, sehingga kepentingan perempuan tidak bisa diwakilkan laki-laki. Karenanya, perempuan mesti duduk dalam pengambilan keputusan, selain karena sampai hari ini persoalan perempuan masih banyak dan belum terselesaikan sampai hari ini. Saya berharap adanya perempuan di parlemen bisa mempengaruhi kinerja parlemen sendiri.
Strategi apa yang Anda dilakukan untuk memenangkan pemilihan legislatif lalu?
Ketika memutuskan untuk menjadi politisi, saya benar-benar meninggalkan dunia entertainment. Berpolitik tidak bisa setengah-setengah, karena menyangkut jutaan orang bukan sekedar mencari uang sehingga komitmennya harus lebih tinggi. Sempat ditawari perpanjangan kontrak untuk presenter, tetapi saya sudah memilih politik sebagai dunia saya.
Ketika saya memilih untuk maju lagi menjadi caleg 2009-2014, itu bukan pilihan yang mendadak. Karena itu, saya membangun image melalui media sudah cukup lama dari tiga tahun terakhir. Meskipun dulu saya belum tahu mau mencalonkan atau tidak. Melalui media, orang bisa melihat bahwa selain sebagai artis, saya juga seorang aktivis yang serius di dunia politik. Itu strategi yang pertama.
Kedua, ketika sistem nomor urut berubah menjadi suara terbanyak, saya pikir itu telah mengubah semua konstelasi politik. Bagaimanapun kalau kita satu daerah pemilihan dengan orang nomor satu di partai (Taufik Kiemas-Red), kita tidak mau dong mereka tidak terpilih. Apalagi dia menjadi ikon partai. Jadi, strategi yang kita lakukan, Pak Taufik fokus untuk pemilih di daerah basis dan bagi saya, walaupun sedang hamil, ini adalah kesempatan untuk membuktikan bisa atau tidak saya meyakinkan orang dengan gagasan saya, membangun jaringan dan basis massa. Makanya, kita mencari orang-orang yang mempunyai komitmen, visi-misi yang sama dengan kita. Kebetulan saya bertemu dengan tim saya pada tahun 2004.
Dulu, pada sistem nomor urut, orang-orang tidak banyak yang turun karena yakin dengan nomor bagus. Tetapi, dengan sistem suara terbanyak, caleg menjadi panik sehingga mengeluarkan uang besar-besaran. Saya tidak melakukan hal itu, karena saya sudah sepakat dengan tim saya, bukan persoalan dapat atau tidak dapat kursi tapi bagaimana kita mendapatkan kursi tersebut, kursi halal atau kursi haram. Hal ini kita jadikan pilot project bersama teman-teman. Tim saya selalu bilang, kalau saya bisa terplih tanpa mengeluarkan uang berarti kita mematahkan anggapan bahwa berpolitik harus punya uang besar. Karena sudah berkomitmen untuk tidak menggunakan uang, kami sampai sepakat tidak membuat kaos atau atribut-atribut yang mengumbar janji. Cukuplah membuat baliho 10 buah saja dengan pesan “Pilih dan Buktikan.” Itu strategi ketiga.
Selanjutnya, tim yang baik yang bisa memberikan support dan memberikan kekuatan satu sama lain adalah juga merupakan sebuah strategi untuk memenangkan pemilu. Mereka sangat membantu saya memberikan support psikologis; apalagi pada saat itu saya sedang hamil. Sampai-sampai mereka menamai tim SIAGA, Siap-Antar-Jaga. Akibatnya, di setiap tempat yang akan saya datangi, mereka selalu bertanya, “Apakah dekat paraji gak?” Paraji itu dukun beranak atau bidan. Mereka selalu bertanya seperti itu menjelang hamil saya yang semakin membesar. Jadi kita benar-benar sudah sehati. Saya berusaha untuk menanamkan pada tim saya, ini bukan sekedar perjuangan saya pribadi tetapi ini perjuangan kita semua. Perjuangan untuk membangun politik Indonesia yang lebih baik. Jujur saya sudah muak dengan orang yang mengeluarkan uang bermilyar-milyar sekedar untuk membeli kursi legislatif. Lihat saja sekarang ada bencana gempa seperti ini, gak ada suara. Coba bencananya sebelum pemilu, pasti yang bantu ramai.
Strategi lainnya adalah bagaimana membangun cara berpikir yang sama dan ber-partner dengan caleg di daerah pemilihan yang lebih kecil, misalnya kabupaten. Mereka selalu bertanya, “Kalau ingin ber-partner dengan saya, mau ngasih apa?” Mereka sudah minta uang dulu atau segala macam. Saya bilang, “Saya tidak akan memberikan kalian uang, tetapi saya akan berusaha untuk sharing strategi yang tim kami siapkan.” Kita sama-sama bekerja keras karena kalau kita hanya mengandalkan uang, justru kemungkinan besar kita tidak akan terpilih. Dengan strategi politik yang matang dengan dana yang minim, Insya Allah, 90% kita terpilih.” Hasilnya, dari sembilan orang yang ber-partner bersama saya, tujuh orang dapat kursi, padahal mereka mempunyai nomor yang besar.
Yang namanya politik, intinya, buat saya adalah komitmen; membangun komitmen itu yang harus kita tanamkan pada tim kita, partner kita. Bahwa, kalau misalnya ber-partner dengan saya, kita akan berhasil dan koalisinya adalah jangka panjang, tidak pada saat itu saja.
Untuk memenangkan pemilu ini tim kami juga membangun jaringan relawan untuk door to door, meskipun jauh-jauh hari saya juga sudah melakukan door to door ke banyak target. Buat saya, yang penting untuk seorang politisi, masa kampanye bukan hanya menjelang pemilu, tetapi setiap hari. Lalu setiap pertemuan adalah politis, setiap orang adalah target politik. Jadi, sewaktu saya di Bandung, dari tukang susu, tukang gas hingga tukang bubur adalah relawan saya. Semua saya ajak ngobrol, setiap datang ke rumah, saya titipi atribut dan mereka dengan senang hati melakukannya tanpa saya harus membayar mereka. Mereka juga mengajak saya untuk datang ke rumah mereka, saya datangi. Nanti orang berkumpul di sana. Saya harus akui, sebagai seorang “artis,” tidak susah mengumpulkan orang. Saya benar-benar tidak membawa sembako ataupun kaos. Apa yang kita lakukan adalah bagaimana merombak paradigma berpikir selama ini bahwa caleg itu bagaikan sinterklas atau ATM. Saya selalu bilang tidak membawa apa-apa, kalau modal yang dikeluarkan besar nantinya orang tidak akan bekerja. Kalau bagi-bagi mie adalah tugas tukang bakso bukan anggota dewan. Orang seperti itu tidak pantas menjadi anggota dewan. Saya sampaikan apa tugas DPR, tugas legislatif dengan 3 fungsi utamanya. Coba bayangkan, masyarakat seperti itu kita ajak ngomong begitu dan bisa bertahan 30 menit hingga 1 jam. Jadi, anggapan bahwa masyarakat tidak akan mengerti adalah salah. Mereka bisa mengerti tetapi sering dibiasakan dan dikondisikan untuk tidak mengerti.
Saat kampanye saya tidak dibantu oleh struktur partai, karena struktur partai harus membantu Pak Taufik. Saya juga tidak mendatangi tokoh masyarakat. Benar-benar hanya menyisir daerah-daerah yang kondisinya sangat menyulitkan, seperti pegunungan. Semua itu saya lakukan dalam kondisi hamil tua. Dalam sehari saya bisa mendatangi 9-10 tempat. Ini adalah harga yang harus saya bayar. Karena saya tidak mau membeli suara orang, sehingga harus dibayar dengan kerja keras. Apa yang saya sampaikan tentu saja apa yang akan saya lakukan setelah duduk di legislatif.
Adakah agenda khusus untuk perempuan?
Jelas ada; kita bisa lihat dari persoalan kesehatan atau ketenagakerjaan, kondisi yang paling memperhatinkan adalah perempuan. Walaupun tidak saya katakan bahwa ratifikasi buruh migran khusus untuk perempuan, tetapi sebagai perempuan tentu kita merasakan pentingnya ratifikasi itu. Undang-undang PRT juga saya kira perlu untuk segera diperjuangkan. Karena kenyataanya, sebagian besar perempuan bekerja di wilayah itu dan terpaksa bekerja di luar negeri. Mungkin undang-undangnya sebenarnya satu untuk semua, tetapi penerima manfaat yang utama adalah bagi perempuan.
Bagaimana dengan amandemen Undang-undang Kesehatan yang sampai sekarang masih juga belum dirampungkan pembahasannya di legislatif?
Saya berusaha akan masuk di Komisi 9 yang menangani antara lain tenaga kerja, kesehatan, keluarga berencana dan lainnya. Soal buruh migran, saya kira PR-nya sangat besar. Biasanya, setelah pemilihan langsung orang senang diam-diam saja, saya tidak seperti itu. Saya komitmen menjadi politisi, setiap harinya saya harus bekerja politik. Meskipun kerja itu tidak dengan partai, secara pribadi atau organisasi yang lain, saya harus tetap melakukannya.
Bagaimana dengan sistem pemilihan legislatif 2009-2014 yang lalu, sudahkah mengakomodir kepentingan perempuan?
Sewaktu Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan secara tiba-tiba sistem suara terbanyak, saya bersama teman-teman mengadakan konferensi pers di KPU. Saya orang yang paling menolak sistem suara terbanyak. Meskipun banyak orang yang justru mendukung saya dengan sistem itu, karena latar belakang saya yang seorang artis, artinya, tidak sulit untuk menggalang dukungan. Namun, saya melihat ini bukan untuk kepentingan saya pribadi, saya tidak mau melenggang ke senayan sendiri. Saya mau ada banyak perempuan yang juga bisa masuk menjadi anggota dewan. Jangan dilihat saya dan teman-teman artis yang lain mendapatkan keuntungan. Tujuannya adalah bahwa peraturan ini diskriminatif terhadap perempuan yang tidak berprofesi seperti saya. Meskipun saya di nomor urut 2 dan di basis partai, buat saya apapun, mau nomor urut atau nomor sepatu pun saya tetap kerja keras. Tapi saya tidak sepakat dengan peraturan tersebut.
Meskipun demikian, perlu diperhatikan soal kuota 30% itu. Jangan sampai kuota 30% ini hanya sekedar kuantitas, kualitasnya banyak dipertanyakan. Melihat proses penjaringan di PDIP yang sudah proporsional tentu saja yang kecewa banget. Karena dalam penjaringan itu kami telah memilih siapa-siapa yang layak mendapat nomor urut kecil. Dengan suara terbanyak, sistem penjaringan tersebut bisa dikatakan mengubah semuanya. Akibatnya, banyak teman yang akhirnya tidak bisa masuk ke legislatif. Bukan karena tidak mampu menjadi seorang politisi, tetapi tidak ada modal. Juga, membuat dream team seperti yang saya miliki juga tidak semua orang mampu melakukannya.
Saya masih ingat sekali, KPU bilang peraturan tersebut untuk menghindari diskriminasi. Tetapi pada akhirnya malah membuat jurang dikriminasi terhadap perempuan. Ada wacana untuk melakukan penghitungan dengan zipper system, artinya setiap tiga kursi terpilih, satu orang harus perempuan. Tetapi secara tegas saya katakan, bukan bagi-bagi kursi intinya. Sebenarnya yang membuat kita kecewa adalah jika ingin mengubah peraturan jangan di last minute, tentu strategi kita juga lain jika kita tahu dari awal.
Saya merasa pemilu kali ini buruk sekali, karena membuat fungsi partai justru sebagai event organizer. Sistem ini membuat setiap caleg tidak lagi terikat dengan partai malah terjun bebas dan bekerja sendiri-sendiri. Hal ini juga yang ditakutkan oleh Bung Karno, dimana politik menjadi terlalu liberal. Ini juga bertentangan dengan ideologi bangsa kita, Konstitusi tidak mengajarkan itu.
Setelah Reformasi, bangsa Indonesia telah tiga kali melakukan pemilihan umum dan kuuto 30% untuk perempuan telah menjadi agenda bangsa ini. Kenyataanya sampai hari ini hanya sekitar 18 persen perempuan yang berhasil masuk di legislatif. Pendapat Anda?
Saya kira ada kesalahan cara pandang. Pertama, kuota 30% itu adalah tidak dipahami. orang-orang masih mempertanyakan “Ngapain sih perempuan ingin diistimewakan?” Padahal kuota 30 persen ini bagian dari affirmative action, di mana kita bisa melihat posisi dan kondisi perempuan belum ideal untuk secara langsung bersaing dengan laki-laki dalam politik. Perempuan masih butuh yang namanya affirmative action. Yang kedua adalah bahwa ini lagi-lagi sebetulnya menjadi tanggung jawab partai, bagaimana memenuhi quota 30% itu. Dari penjaringannya harus lebih serius, minimal seperti PDIP yang terakhir lakukan. Lalu pengkaderan terhadap perempuan itu masih belum matang di partai. Bahkan di jajaran pengurus partai pusat, perempuan masih sangat jarang sekali.
Dari kira-kira 18% persen perempuan yang terpilih menjadi anggota legislatif, saya kira tidak semuanya mempunyai perspektif jender yang baik. Bagaimana tanggapan Anda?
Saya akan mencoba melakukan pendekatan tidak hanya pada teman perempuan tetapi juga pada teman laki-laki yang terpilih. Karena jika mengandalkan suara perempuan saja akan kurang (berhasil). Saya juga punya rencana jika nanti ditempatkan di Komisi 9, saya akan membuat semacam pertemuan dengan teman-teman jaringan NGO, Komnas Perempuan, termasuk mengajak teman-teman di partai lain untuk membahas isu dan persoalan perempuan. Meskipun kita tidak perlu katakan ini untuk perjuangan perempuan, tapi intinya akan ke situ. Tujannya agar sedikit demi sedikit ada pemahaman tentang persoalan perempuan. Tentu saja ini sangat membutuhkan kesabaran dan kerja sama banyak pihak.
Apa yang bisa dilakukan kawan-kawan NGO dan masyarakat untuk mendukung program-program yang telah Anda persiapkan?
Saya selalu berkata bahwa perjuangan di parlemen itu tidak akan bisa lepas dari perjuangan ekstra parlemen. Yang pertama, supaya para politisi tetap berpijak, meskipun dia ada di parlemen tetapi hati dan kakinya ada di masyarakat sehingga dia tahu apa yang harus diperjuangkan. Kedua, ketika mengalami deadlock di parlemen ada support dari luar. Saya berharap kepada teman-teman NGO, saya jangan ditinggalkan. Bahkan ke masyarakat konstituen saya selalu berkata, “Tolong jangan tinggalkan saya, ini adalah perjuangan kita, temani saya berjuang supaya ada hasilnya.” Tidak bisa jika saya dilepas sendiri. Dan, tegur saya bila saya lupa.
Saya kira Anda merawat konstituen Anda dengan baik?
Tentu saja. Seperti kemarin, ada bencana di Pulau Jawa (3 September 2009-Red), saya pergi ke daerah Tasikmalaya dan Garut. Saya memiliki database konstituen saya di sana. Inilah gambaran ketika kita bekerja di Dewan, kita tidak bisa hanya bekerja untuk daerah pemilihan kita saja. Menjadi Dewan itu berarti kita bekerja untuk tingkat nasional dan untuk seluruh masyarakat Indonesia di manapun mereka berada. Meskipun, nanti saya juga akan dibantu untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan ini.
Kalau kegiatan sebanyak ini, apakah sudah betul-betul meninggalkan dunia entertainment?
Saya sudah komit untuk bekerja di dunia politik. Karena apa yang saya peroleh saat ini, berkat penggemar-penggemar saya. Sudah saatnya saya membalas mereka dengan kerja keras saya di parlemen. Tapi tidak kalau dikatakan meninggalkan seni, karena bagi saya politik butuh seni. Karena seni ada empati di situ, dan politik juga butuh empati. Dan kalau politik menggunakan seni akan lebih manusiawi dan lebih halus.
Saya punya pikiran ke depan, kalau kita memang serius ingin menambah jumlah perempuan di parlemen, kita harus mendesak partai untuk menentukan siapa saja kader perempuan yang akan masuk ke bursa pencalonan tidak di tahun terakhir, minimal 2,5 tahun sebelumnya. Jadi, calon-calon ini kita bekali strategi pemenangan pemilu seharusnya seperti apa. Strategi pemenangan pemilu itu tidak semua orang tahu, sebagai contoh saja, ada strategi kapan dan di mana saya harus memasang atribut. Sehingga tidak perlu memasang spanduk awal-awal dan ini lebih hemat. Saya juga berharap nantinya akan ada semacam pundi di tingkat parlemen. Sehingga kawan-kawan yang tidak punya modal bisa menggunakan dana pundi ini.
Perempuan masuk ke dunia politik itu perjuangannya bisa 10 kali lipat dari beban yang dimiliki laki-laki. Artinya ketika dia terpilih, maka dia akan serius. Sehingga jarang sekali politisi perempuan terkena kasus korupsi. Karena untuk masuk ke partai saja sudah sangat susah, apalagi ketika mencalonkan diri. Untuk masuk ke bursa calon susahnya setengah mati, perlu ijin suami dan lainnya. Sehingga setelah terpilih apa mereka mau main-main? Ini sudah menjadi komitmen hidup, sehingga di politik perempuan lebih pas.
Kemudian karena kita adalah makhluk yang diposisikan mengurusi banyak hal, saya sih maunya janganlah ada rapat yang sampai malam. Kehidupan sehat seperti apa yang kita akan peroleh? Dan itu membuat ruang-ruang untuk skandal, skandal seks dan lainnya.
Ngomong-ngomong soal keluarga, bagaimana bentuk dukungan keluarga Anda terhadap pilihan hidup Anda ini?
Saya tidak dibebani dengan urusan rumah tangga, karena sudah ada orang yang membantu untuk urusan itu. Bahkan dari suami juga sudah menerima keadaan saya sejak dari sebelum menikah. Saya sebagai aktivis, saya juga dibesarkan di keluarga yang moderat dan juga mencintai dunia politik. Hingga sampai meja makan pun dulu masih membicarakan politik dengan ayah saya. Bahkan dulu saat saya hamil dan mendaftarkan di bursa pencalonan, saya pernah berkata kepada ayah saya, suami dan kakak-kakak saya bahwa saya ingin mundur karena mempunyai anak adalah prioritas. Tetapi semua keluarga besar saya menolak dan suami saya berkata bahwa politik juga adalah prioritas, dua-duanya adalah prioritas. Sehingga bagaimana membagi waktu, kerja dan beban. Ayah saya juga kadang menemani keliling, dan sering memberikan kritik terhadap saya. Suami dan kakak saya sampai keliling TPS untuk mengontrol perhitungan suara.

0 komentar:

Posting Komentar