BANNER ENIE WIDHIASTUTI

Pages

24 Oktober 2013

Catatan Harian Enie Widhiastuti (5)

Dibenak seorang perempuan, dunia politik tak ubahnya sketsa alur kehidupan bagi perempuan itu sendiri. Tak banyak perempuan yang memilih jalan politik sebagai penegas jati diri dan eksistensinya. Nasib perempuan (dalam konteks Indonesia) terkait dan dilekatkan secara erat oleh stigma masyarakat yang bersumber dari budaya patriaki. Etika Jawa mengenalkan "konco ing wingking", stereotip semacam "warga kelas dua" dan banyak pengistilahan lainnya yang sejatinya menempatkan perempuan pada garis dan ruang sosial yang berbeda dari kaum laki-laki.

Saat terjun ke politik, saya juga digelayuti pertanyaan-pertanyaan yang bersumber dari batin saya sendiri. "Apakah politik sebuah jalan kehidupan yang tepat?". Tentu pertanyaan-pertanyaan itu perlu saya jawab sendiri, seraya mendiskusikan dengan teman-teman dan tentunya keluarga. Beragam pandangan dan masukan bahkan pengkritisan saya dapatkan setelah secara bulat saya menjawab pertanyaan itu dengan pilihan sikap: ya, saya memilih berpolitik!

Perjalanan batin, pengalaman dan harapan-harapan saya muarakan melalui arus yang kadang terhadang oleh rintangan dan kendala. Namun saya sudah menjadikan itu sebagai sebuah konsekuensi dari pilihan saya bersikap. Pada akhirnya, saya merasakan, betapa panggilan terjun ke politik seolah menjadi garis yang ditetapkan, ruang yang disediakan untuk saya dalam mengabdi dan melayani. Sebab itu, saya memaknainya sebagai anugrah, sebagai kekuatan yang Tuhan kirimkan kepada saya. 

Prinsip berkeTuhanan yang saya anutlah yang kemudian makin memantapkan kiprah saya di jalur politik. Diilhami filosofi Solus Populi Suprema Lex, yang menuntun saya untuk mendahulukan kepentingan umum diatas segala bentuk kepentingan pribadi dan golongan, menegaskan betapa dunia politik saya transformasikan sebagai ruang pelayanan kepada sesama. Namun saya juga menyadari betapa itu tak mudah untuk diejawantahkan oleh seorang perempuan. Medan politik identik dengan pergumulan para kaum pria. Politisi maskulin begitu hegemonik, dan superior. Disisi yang lain, perempuan tak diberdayakan, dan selalu diposisikan sebagai subordinat. Dibawah kendali politik kaum laki-laki, perempuan kerap menerima perlakuan diskriminasi secara langsung dan tak langsung. Akibatnya, kaum perempuan dimarginalkan, dipinggirkan atau sebatas sebagai pelengkap daya tawar politik, tanpa kewenangan sekecil apapun.

Jelas, perempuan harus berani memikul tanggungjawab politik. Perempuan harus mulai tampil sebagai dirinya yang berkemampuan sama dengan laki-laki tanpa kehilangan martabat dan kodratnya sebagai perempuan. Isu gender tak boleh sebagai mantra-mantra politik tanpa kelanjutan agenda pemberdayaan perempuan itu sendiri. Majulah perempuan Indonesia !


0 komentar:

Posting Komentar