BANNER ENIE WIDHIASTUTI

Pages

26 September 2013

Adalah Perempuan

Foto: dok.pribadi
Perempuan! Apa yang menjadi suatu ketertarikan ketika satu kata itu diucapkan. Biasanya akan muncul berbagai macam stereotipe, dari yang memandang lemah, cantik, cengeng, ke-ibuan, kuat, cerdas, bahkan ada yang memandang perempuan hanya sebagai pelengkap laki-laki untuk menjadikan dunia ini lebih indah. Begitu jamaknya pendefinisian perempuan pada mata subjektif orang-orang.
Berbagai macam buku, catatan, dan berita yang menuliskan tentang perempuan. Membuat suatu tanya ada apa dengan perempuan. Sehingga sosok ini seakan menjadi duri yang terus menusuk dan harus ditemukan jalan keluar untuk membuangnya. Hingga terkadang perempuan hanya dianggap sebagai hama benalu yang terus menumpang pada induknya, tetapi tak jarang memberikan kerugian. Apakah perempuan akan menerima dengan apa yang tertuliskan perempuan.

Sejak sejarah penciptaannya tetap ada perdebatan dalam memahami sosok perempuan yang katanya diciptakan dari tulang rusuk Adam, dan Hawa sebagai perempuan pertama untuk menemaninya. Bahkan catatan sejarah itu pun juga menuliskan bahwa Hawa yang menyebabkan mereka harus diusir keluar dari surga, karena berhasil ‘merayu’ Adam untuk makan buah Khuldi, buah yang dilarang walau hanya untuk didekati.
Begitulah perempuan. Hingga kini muncul berbagai kelompok yang mengatas namakan perempuan. Ada yang menamakan diri mereka sebagai kelompok Feminisme, Kelompok anti ketidakadilan Gender, dan lain sebagainya. Namun, tak sedikit juga perempuan yang tetap cuek, bahkan tak tahu ‘siapa aku’ sebagai seorang perempuan.
Gerakan Feminisme
Sejak abad ke-17, kata feminissme mulai digunakan dan hingga kini gerakan ini terus mencari pendefinissian secara arah gerak dan perjuangannya. Sebagai bentuk gerakan perempuan. feminisme dianggap sebagai suatu pemberontakan yang dilakukan para aktifis perempuan dalam menuntut persamaan hak dan kewajiban ditengah kehidupan sosial masyarakat. Hal itu dianggap sebagai bentuk dari norma sosial masyarakat Indonesia yang terbentuk berdasarkan adat ketimuran. Kebiasaan masyarakat yang dibentuk oleh budaya Patriarki dimana menempatkan perempuan tetap berada di bawah garis laki-laki. Karena budaya patriarki juga perempuan mendapatkan porsi yang terbatas dalam perannya dibidang ekonomi, sosial, budaya, politik, maupun di keluarga. Hal tersebut kemudian menimbulkan sebuah asumsi bahwa perempuan tetap perempuan yang nantinya akan menjadi ibu, melayani suami, mengurus anak-anak. Adanya asumsi-asumsi tersebut yang terus berkembang dimasyarakat akhirnya terjadi pembatasan ruang gerak perempuan untuk menjalankan perannya, dan terjadi stagnan terhadap pola fikir, dan tingkah laku perempuan.
Gerakan feminisme sendiri bermacam ragam. Pada pemahaman idealnya, gerakan feminisme lahir berdasarkan atas realitas cultural dan kenyataan sejarah yang konkret, maupun atas tingkatan-tingkatan kesadaran, persepsi serta tindakan. Gerakan feminsime yang ada pada abad ke-17, abad ke-18, hingga sekarang memiliki makna yang tidak sama. Tergantung oleh tingkat pendidikan, pemahaman, serta kesadaran oleh perempuan.
Beberapa orang menyangkal bahwa gerakan feminisme yang lahir adalah dalam rangkaian semu untuk mengaburkan kodrati perempuan sebagai seorang yang akan melahirkan, menyusui, dan memberikan kasih sayang kepada anak. Gerakan feminisme dianggap sebagai titipan bangsa asing untuk menghancurkan moralitas masyarakat Indonesia, terlebih kepada pejuang-pejuang perempuan. Penyangkalan yang berakibat pada pengekangan dan bahkan pencengkalan, adalah bentuk ketidaktahuan orang-orang terhadap pola perjuangan yang dilakukan oleh aktifis feminis.
Isu-isu yang berdifat SARA pun, tak jarang menjadi kambing hitam untuk membatasi pergerakan perempuan dalam menuntut hak-haknya sebagai kaum yang sering terkena imbas diskriminasi sosial dan kebijakan pemerintah.
Namun ditengah gempuran itu semua, gerakan feminisme tetap menjadi pembangkit kesadaran perempuan akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah suatu keadaan . Bentuk-bentuk pemahaman yang berusaha dibangkitkan oleh kelompok-kelompok aktifis ini adalah penyadaran akan kemampuan dan hak perempuan untuk tetap sama menjadi bagian masyarakat.
Gender sebagai sebuah mantera
Ada istilah lain yang saat ini sering dijadikan sebagai ‘alat’ untuk memberikan pemahaman akan posisi perempuan dan laki-laki di masyarakat. kata Gender yang lebih mengisayarakatkan pada keinginan perempuan untuk tetap memperoleh hak dan kewajiban yang sama di masyarakat. Sedangkan pada pendefinisisan yang sangat sederhana, gender hanya dipahami sebagai jenis kelamin antara perempuan dan laki-laki.
Pada beberapa kelompok perempuan menyampaian bahwa gender bukan hanya sebagai sebuah definisi jenis kelamin, yaitu lelaki dan perempuan. Tapi lebih kepada sebuah bangunan pemahaman yang terkonstruksi di lingkungan sosial masyarakat akibat dari budaya dan kebiasaan masyarakat tersebut. Sehingga gender bukan pemisahan secara mutlak antara perempuan dan laki-laki.
Kata Gender sering kali dijadikan sebagai sebuah mantera yang digunakan ketika sebuah perdebatan terjadi terhadap isu perempuan. Bahwa gender merupakan sesuatu yang tak dapat dijadikan sebagai sebuah rujukan pengatasnamaan perempuan. Gender hanya suatu yang dijadikan sebagai rujukan kenapa perbedaan fisik antara perempuan dan laki-laki tidak dijadikan sebagai alasan untuk tindak diskriminasi yang dialami oleh perempuan, yang pada kenyataannya perempuan dan laki-laki tetap dapat berjalan secara beriringan.
Kata gender bukan sesuatu yang harus dipermasalahkan. Bahkan secara bijaksana dapat dikatakan sebagai benang merah antara perempuan dan laki-laki dalam menyatukan perspektif mereka untuk dapat saling memahami. Jadi, ketika ada kelompok-kelompok ‘aktifis gender’, bukan malah dihujat. Bukan pula untuk dikatakan sebagai orang-orang yang melanggar ajaran agama. Karena diajaran agama pun meletakkan keadilan sebagai sesuatu yang-hak di miliki oleh semua manusia. Jadi kenapa kita malah sering kali memperdebatkan sesuatu yang secara substansi dapat menimbulkan perpecahan?
Perempuan belum berdaya?
Adanya kelompok-kelompok aktifis perempuan sebagai tanda bahwa semakin jauh peradaban, semakin berkembangnya teknologi dan sarana komunikasi serta transportasi tidak dapat dijadikan sebagai tolak ukur bahwa perempuan telah ‘merdeka’ sepenuhnya. Masih banyak perempuan yang dengan keterbatasan pemahaman, menjadikan mereka sebagai sesuatu yang hanya melengkapi apa yang dibutuhkan oleh laki-laki.
Merdeka yang di inginkan oleh perempuan tetaplah merdeka yang dibatasi oleh nilai-nilai kebenaran. Sehingga kerelatifan kata merdeka akan menjadi subjek yang terus di diskusikan sebagai bentuk perspektif.
Peranan kelompok perempuan yang telah ‘sadar’ tentang keadilan gender, adalah membagi virus-virus itu kepada perempuan lain. Sehingga wajar saja jika hingga saat ini masih banyak perempuan-perempuan yang masih menjadi kelompok sasaran yang pantas untuk ‘diberdayakan’ sebagai salah satu kelompok masyarakat. Jadi jika memang ada yang menyatakan bahwa perempuan itu tidak pernah berdaya, adalah benar secara umum. Namun secara khusus saat ini telah banyak perempuan-perempuan yang mampu tampil dihadapan khalayak sebagai seorang pemimpin, sebagai seorang intelektual, politisi, dan sebagainya.
Tentang perempuan itu sendiri
Ada satu statement dari St John Chrysostom (345M-407M) seorang Bapak Gereja Bangsa Yunani, yang menyatakan bahwa “Wanita adalah setan yang tidak bisa dihindari, suatu kejahatan dan bencana yang abadi dan menarik, sebuah resiko rumah tangga dan ketika beruntungan yang cantik” . Hal itu mengasumsikan bahwa masih ada pandangan-pandangan negatif yang dilabelkan kepada perempuan sekalipun ia adalah orang-orang ‘berkelas’. Keterbatasan pemahaman dan pengekangan terhadap pemikiran pribadi yang menjadikan orang-orang seperti ini menafikkan sesuatu yang bersifat nyata pada diri perempuan.
Perempuan dapat secara berbeda menyatakan siapa mereka. Terlebih pada masa modernitas saat ini, terjadi kegamangan perempuan dalam menunjukkan sebuah identitas. Memunculkan standarisasi semu yang membuat perempuan harus menjadi seperti apa yang terstandar oleh bentuk rupa perempuan. Hal itu terjadi akibat asimilasi yang dipengaruhi oleh media-media. Lihat saja diberbagai sudut negeri, berbagai macam bentuk perempuan yang mengaktualisasikan diri mereka lewat gaya, mode, maupun aksesoris yang digunakan. Dan kesemuanya berbeda. Ada juga yang menyatakan diri mereka yang paling benar. Sehingga memang tidak mudah untuk mendapatkan jawaban, siapa itu perempuan? Dan seperti apa perempuan?
Perempuan memang tetaplah akan menjadi perempuan. Namun perempuan ada bukan sebagai pelengkap. Bukan juga pantas untuk di pandang sebagai seorang yang lemah. Bahkan tersubordinat selalu didalam masyarakat patriarki. Perempuan dan laki-laki mempunyai ruang dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Sehingga tak pantas jika sebuah bentuk pembelaan keadilan. Baik dalam atas nama Feminis, Gender, maupun sebagainya, bukanlah sebagai sesuatu yang memalukan, dan bentuk pendosaan.

0 komentar:

Posting Komentar