BANNER ENIE WIDHIASTUTI

Pages

26 September 2013

Buku Perempuan

Judul        : Ecofeminism: Gerakan Perempuan dan Lingkungan
Penulis    : Vandana Shiva & Maria Mies
Halaman    : 378 Halaman
Penerbit    : IRE Press Yogyakarta
Tahun        : 2005
ISBN        : 979-98181-6-8
images (16)
Vandana Shiva, ahli fisika berlatar belakang gerakan ekologis; Maria Mies, ilmuwan sosial, berlatar belakang feminis. Keduanya penulis yang tinggal dan bekerja di belahan negara yang berjauhan. Yang satu di belahan Selatan, yakni India, yang lainnya di belahan Utara, yakni Jerman. Hidup dan bekerja berjauhan tidak menjadi persoalan bagi Mies dan Shiva untuk menulis buku yang penuh dengan kritik sosial sekaligus ide-ide segar. Buku itu kolaborasi pandangan Mies dan Shiva dalam menyajikan gambaran seluruh masalah terkait persoalan ekologis, perempuan, dan sistem pasar dunia.
Shiva yang banyak terlibat dalam gerakan di masyarakat banyak mengkritik sistem kapitalis dunia, dari sudut pandang masyarakat yang terhisap serta pengalaman-pengalaman negara Selatan. Sementara Mies mempelajari dampaknya terhadap perempuan dari sudut pandang yang hidup “dalam lingkungan dunia yang penuh kejahatan.”
Ecofeminisme ialah istilah baru untuk gagasan lama yang tumbuh dari berbagai gerakan sosial–gerakan perempuan, perdamaian, dan ekologi–akhir tahun 1970-an dan awal 1980-an. Istilah Ecofeminisme pertama kali digunakan oleh Francoise D’ Eaubonne, baru populer ketika maraknya protes dan aktivitas penentangan perusakan lingkungan hidup yang memicu bencana ekologis yang terjadi berulang-ulang. Terminologi ini dihadirkan kembali oleh Shiva dan Mies dalam buku tersebut sebagai kritik mereka terhadap proses globalisasi saat ini, yang mengatasnamakan modernisasi untuk kesejahteraan umum, akan tetapi dalam praktiknya adalah bentuk penindasan yang berbasiskan penguasaan manusia dan sumber daya alam demi akumulasi modal.
Dalam buku ini, penulis bersepakat bahwa dalam beberapa tahun terakhir isu-isu yang berkaitan dengan kelangsungan hidup dan pemeliharaan kehidupan, tidak hanya persoalan perempuan, anak-anak, dan umat manusia pada umumnya, tetapi juga berkait dengan makin hancur dan langkanya flora dan fauna di bumi serta kian membutuhkan perhatian khusus. Shiva dan Mies menganalisa bahwa penyebab kehancuran yang menjadi ancaman kehidupan di muka bumi ini ialah sistem yang disebut “kapitalis patriarkal” dunia. Dalam perspektif kapitalis patriarkal ini, perbedaan diartikan sebagai hirarki dan keseragaman sebagai syarat kesetaraan.
Tentu dalam struktur macam ini terdapat ketidakadilan, karena memungkinkan negara-negara Utara mendominasi negara-negara Selatan; laki-laki mendominasi perempuan, dan makin banyak penjarahan terhadap sumber daya alam. Sehingga, terjadi ketimpangan dalam distribusi keuntungan ekonomi penguasaan alam. Modernisasi “pembangunan” dan “perkembangannya” merupakan faktor yang paling bertanggungjawab terhadap degradasi alam saat ini, pun yang membuat dominasi laki-laki terhadap perempuan bertambah kuat. Kedua penulis melihat, bahwa ada hubungan hubungan dominasi eksploratif antara laki-laki dengan alam (bentukan ahli ilmu reduksionis modern sejak abad 16) dan hubungan eksploitatif menindas laki-laki atas perempuan yang muncul dalam masyarakat patriarkal awal, meskipun dalam dunia industri modern saling terkait.
Dari pengalaman dan wawasan kedua penulis buku tersebut, sistem di Dunia Ketiga sekarang dibangun dan dijalankan lewat penindasan atas perempuan dan penjajahan terhadap orang-orang “asing” dan tanah air mereka dan bagi alam, sehingga menimbulkan kerusakan. Dalam perspektif feminis, kerusakan dan kemunduran ekologi akan berdampak besar terhadap perempuan dan anak. Persoalan umum yang muncul akibat dampak negatif politik global yang tak terlihat itu dialami oleh perempuan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Krisis pangan dan air bersih adalah dampak nyata yang kini dihadapi oleh perempuan dan anak-anak di berbagai belahan dunia. Krisis pangan berdampak besar terhadap tingginya angka malnutrisi pada anak serta angka kematian ibu dan anak. Kekurangan gizi pada anak-anak dan perempuan akan berlanjut sampai dewasa dan hingga generasi mendatang. Krisis air bersih memberikan kontribusi sebesar 34,6 persen bagi angka kematian anak-anak di Dunia Ketiga. Setiap tahun,  5 juta anak meninggal karena penyakit diare.
Seperti dikatakan Shiva dalam tulisannya tentang “Pemiskinan terhadap Lingkungan: Perempuan dan Anak-anak yang Jadi Korban”, bahwa ekonomi global memiliki banyak sekali kebijakan yang menjamin kesejahteraan perempuan dan anak, tetapi dalam kenyataannya merekalah yang pertama kali diperosokkan dalam jurang kemiskinan. Sumber daya alam yang sejatinya dipakai sebagai sumber untuk mempertahankan hidup kini makin ter-erosi oleh tingginya permintaan atas sumber tersebut oleh ekonomi pasar yang didominasi kekuatan global. Perempuan menjadi kelompok yang  mengalami ketertindasan yang lebih besar daripada laki-laki, sekaligus menjadi kelompok terdepan dalam melakukan protes atas kerusakan lingkungan. Tiap aspek kerusakan lingkungan diterjemahkan sebagai ancaman yang berbahaya bagi kehidupan generasi mendatang.
Di sisi lain, penulis mencatat bahwa telah banyak strategi survival dan perlawanan lokal yang dikembangkan perempuan terhadap kerusakan dan keterpurukan ekologi akibat sistem “patriarkal-kapital”. Misalnya, kini lebih dari sepertiga rumah tangga di Afrika, Amerika Latin, dan negara-negara maju dikepalai oleh seorang perempuan (di Norwegia jumlahnya mencapai 38 persen dan di Asia 14 persen). Kemudian di Jerman muncul gerakan perlawanan dan penolakan terhadap rencana penggunaan tenaga atom; perempuan Chipko di Himalaya telah melakukan perlawanan terhadap perusakan lingkungan akibat penebangan kayu; gerakan aktivis Sabuk Hijau di Kenya; dan perjuangan perempuan Jepang menentang polusi makanan akibat stimulasi kimia, jaringan pertanian komersial, dan produsen-konsumen untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri; gerakan perempuan miskin di Ekuador untuk menyelamatkan hutan sebagai sumber makanan bagi ikan dan udang; perjuangan beribu-ribu perempuan di negara-negara Selatan untuk menuntut manajemen dan distribusi air yang lebih baik, konservasi tanah, penggunaan tana, dan perawatan sumber kehidupan mereka (misalnya: hutan, bahan bakar, dan makanan ternak/hewan) melawan kepentingan industri. Perlawanan-perlawanan ini memperlihatkan bahwa perempuan-perempuan di seluruh dunia merasakan kemarahan dan ketidakpuasan serta bertanggungjawab untuk memelihara dan melindungi sumber alam yang ada serta menghentikan perusakan lingkungan.
images (17)Penulis buku ini juga membahas persoalan yang dihadapi perempuan dalam melihat ekologi. Beberapa kalangan perempuan, terutama mereka yang hidup di perkotaan dan dari kalangan kelas menengah yang sulit menerima dan memahami keterkaitan antara kebebasan mereka dengan alam, dan kebebasan mereka dengan pembebasan perempuan lain di seluruh dunia. Tentu ini menjadi cabang sistem kapitalis-patriarkal melalui kebudayaan “modern” yang dibangun berdasarkan kosmologi dan antropologi yang membedakan satu sama lain secara struktural, dan secara hirarki selalu membedakan antara dua sisi yang saling bertentangan: yang satu dianggap lebih kuat, selalu menindas, dan lebih maju dibanding yang lainnya. Dengan demikian, alam disubordinasikan oleh laki-laki; perempuan oleh laki-laki; konsumsi di dalam produksi, dan lokal dalam tingkat global, dan seterusnya. Oleh karenanya, perspektif ecofeminism sangat membutuhkan kosmologi baru dan antropologi baru yang memandang bahwa hidup di alam dipertahankan dengan jalan saling kerjasama, saling memberi perhatian, dan saling mencintai.
Bab akhir buku ini terkait dengan penghayatan penulis terhadap ecofeminism sebagai perspektif yang berasal dari kebutuhan dasar kehidupan. Shiva dan Mies menyebutnya “subsistence pespective” atau “survival perspective”. Visi baru ini adalah wujud pesimisme  hasil Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro (UNCED, Juni 1992) bahwa solusi terhadap persoalan ekologi yang ada di muka bumi saat ini, yakni masalah ekonomi dan sosial tak bisa diharapkan dari kebaikan elite yang berkuasa. Kedua penulis melihat bahwa perjuangan untuk mempertahankan hidup merupakan tindakan kritis yang hanya bersifat agresif, eksploitatif, dan secara ekologis merupakan teknologi destruktif, tetapi juga tindakan kritis terhadap produksi-komoditas, kapitalis yang berorintasi pertumbuhan, atau sistem industri sosialis. Mereka berpendapat bahwa  perempuan lebih dekat dengan “subsistence pespective” daripada laki-laki. Sebab perempuan di Selatan bekerja dan berjuang untuk mempertahankan hidup dibandingkan perempuan di perkotaan, perempuan kelas menengah, dan laki-laki di Utara. Namun semua perempuan dan laki-laki mempunyai tubuh yang langsung terkena dampak kerusakan akibat sistem industri. Perempuan dan laki-laki memiliki ‘basis material’ untuk menganalisis dan mengubah proses ini. Shiva dan Mies menguraikan sembilan ciri dasar visi baru mereka yakni:
  1. Tujuan kegiatan ekonomi bukanlah untuk menimbun uang, melainkan melahirkan dan menghasilkan kembali kehidupan, dalam artian, memenuhi kebutuhan mendasar umat manusia dengan memproduksi “nilai guna”, bukan membeli komoditas.
  2. Kegiatan ekonomi ini didasarkan atas relasi baru: a) terhadap alam, di mana alam dihormati dalam hal kekayaan dan keanekaragamannya, baik untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri maupun untuk keberlangsungan hidup mahluk yang ada di muka bumi sehingga alam itu sendiri tak boleh dieksploitasi; b) di antara masyarakat, di mana relasi non-eksploitatif terhadap alam tidak dapat diwujudkan tanpa perubahan dalam relasi manusia, terutama relasi antara laki-laki dan perempuan. Hal ini bukan hanya dalam makna perubahan dalam berbagai konsep pembagian kerja tetapi yang terutama menggantikan relasi uang dan relasi komoditas dengan prinsip hubungan timbal-balik, saling menguntungkan, solidaritas, saling mempercayai, kebersamaan dan perhatian, menghormati individu dan bertanggungjawab terhadap ‘keseluruhan’
  3. Subsistence pespective didasarkan atas peningkatan partisipasi atau demokrasi akar rumput, dengan menghargai seluruh keputusan ekonomi, sosial, dan teknologi.
  4. Subsistence pespective mungkin membutuhkan suatu pendekatan terhadap pemecahan persoalan multi dimensional atau sinergis.
  5. Subsistence pespective menuntut paradigma baru ilmu, teknologi, dan pengetahuan.
  6. Subsistence pespective mengarah pada terciptanya kembali integrasi kebudayaan dan kerja, baik kerja yang dimaknai sebagai tanggung jawab atau kerja yang dimaknai sebagai kenikmatan.
  7. Subsistence pespective menolak privatisasi yang dilakukan dan/atau komersialisasi milik publik: air, udara, tanah, sumber daya alam.
  8. Karekteristik-karekteristik yang ada harusnya disesuaikan dengan konsep masyarakat ecofiminism. Terutama desakan terhadap teori dan praktik dalam keterkaitan seluruh kehidupan; dalam desakan politik hal itu muncul di tindakan sehari-hari dan etika pengalaman, kekonsistenan antara maksud dan tujuan;  itu harus dikedepankan.
  9. Menghilangkan dikotomi life-producing antara memelihara kehidupan dan kegiatan-kegiatan produksi komoditi dihilangkan. Subsistence pespective akan memberikan kontribusi sangat penting dalam proses menjauhkan tindakan militeristik laki-laki dan masyarakat.
Oleh karenanya, menurut Shiva dan Mies, penting untuk terus membangkitkan kesadaran dan memelihara gerak hati untuk memperteguh ketahanan inheren di semua kehidupan, guna membangkitkan optimisme keyakinan bahwa pencarian persamaan dan perbedaan identitas menjadi hal signifikan sebagai platform perlawanan terhadap dominasi kekuatan kapitalis-patriarkal global, di mana kekuatan tersebut secara serentak membuat dunia menjadi homogen dan terfragmentasi. Semua manusia, tua dan muda, segala ras dan budaya, bersama-sama menikmati ‘kehidupan ideal’. Keadilan sosial, kesetaraan, nasib manusia, kecantikan dan kenyamanan hidup bukan sekadar impian. *****(IK)

0 komentar:

Posting Komentar