BANNER ENIE WIDHIASTUTI

Pages

04 September 2013

Pencalonan 30% Perempuan pada Pemilu 2014: Tanggung Jawab Siapa?

Foto: dok.pribadi
Tahapan pendaftaran calon anggota legislatif untuk Pemilu 2014 oleh partai politik peserta pemilu akan dimulai pada 9 April 2013.  Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 7 tahun 2013 untuk mengatur proses pencalonan tersebut. Salah satu isu penting dan (kembali) diperdebatkan adalah perihal pencalonan 30% perempuan sebagai anggota DPR dan DPRD.
Pada Kamis (28/3) lalu, Komisi 2 DPR RI dalam forum konsultasi meminta agar KPU merevisi ketentuan terkait pemenuhan jumlah 30% caleg perempuan dalam Daftar Calon di setiap daerah pemilihan DPR,  DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.   Komisi 2 DPR RI meminta agar pembatalan keikutsertaan partai politik peserta pemilu di daerah pemilihan DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang tidak bisa memenuhi jumlah 30% caleg perempuan dalam Daftar Calon sebagaimana diatur oleh PKPU tersebut, direvisi.  Beberapa anggota Komisi 2 DPR RI  beralasan PKPU tersebut melampaui ketentuan dalam UU No. 8/2012, dan tidak melihat kondisi sosiologis kultural masyarakat yang menjadi kendala perempuan berpolitik. Intinya tercetus ungkapan bahwa partai politik merasa tidak siap untuk merekrut perempuan sebagai calon anggota legislatif (caleg) sampai tingkat kabupaten/kota.

Terkait situasi tersebut, maka dirasa perlu melakukan respons secara terbuka sebagai berikut ini:
  1. Kebijakan afirmatif merupakan bagian dari prinsip keadilan dalam demokrasi yang diimplementasikan melalui pemenuhan pencalonan minimal 30% perempuan sebagai anggota legislatif, dan penempatan caleg perempuan dalam Daftar Calon sebagaimana diatur dalam pasal 55 dan 56 UU No.8/tahun 2012. Kebijakan afirmatif telah diterapkan sejak Pemilu 2004 dan 2009, dan selama dua kali pemilu tersebut penerapannya bersifat fleksibel tanpa aturan sanksi yang tegas (mandatory) bagi partai politik peserta pemilu.  Dampaknya adalah: (a) partai politik tidak secara serius dan berkesinambungan melakukan rekrutmen dan kaderisasi perempuan hingga tingkat terendah sebagai bagian dari pendidikan kader; (b) partai politik melihat kebijakan afirmatif  hanya sebagai pelengkap administratif untuk keperluan verifikasi tetapi tidak dilihat sebagai upaya yang mutlak diperlukan untuk memperbaiki kondisi ketimpangan representasi politik; (c) secara umum caleg perempuan lebih dimanfaatkan sebagai mobilisasi pengumpul suara bagi partai politik.
  2. Penguatan kebijakan afirmatif melalui Peraturan KPU sangat strategis karena berkaitan dengan pemenuhan tanggung jawab partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan minimal 30% perempuan sesuai perintah Undang undang.   Pasal 54 UU No.8/2012 menyebutkan bahwa  Daftar bakal calon memuat paling banyak 100% dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan. Lalu pada pasal 55 disebutkan bahwa Daftar bakal calon memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Ditambah  dengan ketentuan pasal 56 ayat 2 bahwa setiap tiga orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan bakal calon.  Ketiga pasal tentang Daftar bakal calon ini dapat dan perlu dianggap  berkaitan, dimana Daftar bakal calon ada pada setiap daerah pemilihan dan memuat sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan.  Maka Peraturan KPU sebagai pelaksana teknis ketentuan UU sangat strategis untuk mengatur bahwa Daftar bakal calon pada setiap daerah pemilihan harus memuat paling kurang 30% perempuan bakal calon. Mengacu pada pasal 53 ayat 2, 3, dan 4 maka Daftar bakal calon berlaku untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Jika partai politik tidak memenuhi Daftar bakal calon sebagaimana diatur maka berarti tidak bisa mengajukan caleg untuk mengikuti pemilu di daerah pemilihan bersangkutan.
  1. Hasil riset Puskapol UI tentang  pencalonan perempuan pada Pemilu 2009  menunjukkan bahwa memperbanyak jumlah caleg perempuan akan membuka peluang keterpilihannya di setiap daerah pemilihan. Data berikut ini menunjukkan untuk pencalonan DPR RI, total wilayah daerah pemilihan (gabungan kabupaten/kota) tingkat DPR RI yang pencalonan perempuan di bawah 30%  terdapat di 8 daerah pemilihan dari 77 daerah pemilihan DPR RI, atau setara 10%  total wilayah. Seperti dilihat pada tabel  berikut ini:
No
Daerah Pemilihan DPR yang pencalonan perempuan di bawah 30% pada Pemilu 2009
% caleg perempuan  di dapil
1Papua
21.89%
2Jawa Timur 10 (Lamongan, Gresik)
23.97%
3Papua Barat
24.14%
4Sulawesi Selatan 2 (Sinjai, Bone, Maros, Bulukumba, Pangkajene Kepulauan, Barru, Kota Pare Pare, Soppeng, Wajo)
27.78%
5Jawa Tengah 1 (Semarang, Kendal, Kota Salatiga, Kota Semarang)
28.03%
6Maluku Utara
28.05%
7Aceh 1 (Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Gayo Lues, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Kota Subulussalam, Aceh Singkil, Simeulue
28.38%
8Jawa Tengah 3 (Grobogan, Blora, Rembang, Pati)
28.77%
  1. Perolehan suara caleg perempuan juga signifikan menambah perolehan suara partai politik di setiap daerah pemilihan.  Data Puskapol UI menunjukkan dari total suara pemilih untuk caleg DPR RI (71.865.110), sejumlah 16 juta adalah suara pemilih yang diberikan untuk caleg perempuan (setara 22,45%).  Selanjutnya dilihat dari data 463 kabupaten/kota,  terdapat di 206 kab/kota, suara yang diberiukan untuk caleg perempuan mencapai 11-20%. Bahkan ada sejumlah kabupaten/kota yang suara untuk caleg perempuan mencapai lebih dari 50%, melebihi jumlah suara untuk caleg laki-laki.  Ini merupakan wilayah tinggi perolehan suara caleg perempuan yang (mestinya) potensial bagi keterpilihan caleg perempuan.  Seperti informasi tabel berikut ini:
No
Persen perolehan suara caleg perempuan DPR di kabupaten/kota
Jumlah kabupaten/kota
(total 463 kab/kota)
1

0 – 10%

50 kab/kota (11%)
2

11- 20%

206 kab/kota (44%)
3

21 – 30%

134 kab/kota (29%)
4

31 – 50%

66 kab/kota (14%)
5

Di atas 50%

7 kab/kota (2%)
Maka terkait pencalonan perempuan pada Pemilu 2014, kami menyatakan sikap sebagai berikut:
1)     Mendukung penguatan penerapan kebijakan afirmatif dalam Peraturan KPU yang sejalandengan strategi memperbanyak jumlah caleg perempuan di setiap daerah pemilihan agar meningkatkan peluang keterpilihannya, khususnya di kabupaten/kota.  Ketegasan penyelenggara pemilu dari pusat hingga kabupaten/kota mutlak diperlukan dalam mengawal kebijakan untuk meningkatkan keterpilihan caleg perempuan pada Pemilu 2014.
2)     Pengalaman  Pemilu 2009 menunjukkan caleg perempuan diperhitungkan – bahkan mampu bersaing dan dipilih – oleh pemilih Indonesia.  Maka partai politik peserta pemilu bertanggung jawab dalam memastikan menguatnya potensi keterpilihan caleg perempuan dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota sebagai upaya mengoreksi ketimpangan representasi politik perempuan di lembaga legislatif.
3)     Mendorong agar partai politik peserta pemilu menerapkan tindakan afirmatif di internal partainya untuk meningkatkan angka keterpilihan perempuan, dengan cara: (a) mengidentifikasi wilayah mana saja yang tinggi suara untuk caleg perempuan berdasarkan basis perolehan suara partai pada pemilu lalu, (b) penempatan caleg perempuan dalam Daftar Calon pada urutan dan wilayah potensial terpilih.
4)     Mendorong bidang pemberdayaan perempuan partai politik untuk memperkuat sinergitas dengan organisasi masyarakat, aktivis masyarakat sipil, dan komunitas/kelompok perempuan hingga tingkat akar rumput dalam upaya mendorong partai politik untuk mencalonkan perempuan yang memiliki potensi kapabilitas dan jaringan akar rumput di wilayah basis kekuatannya.

0 komentar:

Posting Komentar